Karena itu Komnas HAM pun meminta bantuan KPK turun tangan mengusut.
Indikasi korupsi terkuak dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK atas kepatuhan terhadap peraturan perundangan Komnas HAM Tahun 2015. Temuan BPK menyebut penggunaan anggaran di Komnas HAM berstatus disclaimer atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat menyebut, ada dugaan penyalahgunaan anggaran terkait biaya sewa rumah dinas yang mencapai Rp 330 juta. "Terindikasi disalahgunakan oleh DB," ujar Imdadun, kemarin. DB yang dimaksud, adalah salah satu komisioner, yakni Dianto Bachriadi.
Selain itu, ada penggunaan anggaran yang terindikasi fiktif sebanyak Rp 820,2 juta yang diduga dilakukan oleh sejumlah staf di bagian perencanaan Komnas HAM.
"Prinsipnya, temuan BPK hanya ada dua transaksi fiktif yang jumlahnya mencapai Rp 1,150 miliar," bebernya.
Menurut Imdadun, menindaklanjuti temuan BPK itu, Komnas HAM membentuk Dewan Kehormatan (DK) dan tim internal sejak Agustus 2016. DK pun langsung meminta keterangan dari komisioner DB.
Tapi, dia tak memenuhi panggilan dengan alasan sedang berada di suatu tempat. "Dia kemudian memutuskan memberikan jawaban tertulis," ujar Imdadun di kantornya.
Dalam jawaban tertulis, DB juga meminta dinonaktifkan sebagai komisioner. Setelah menggelar rapat paripurna, DK memutuskan menyetujui permintaan nonaktif itu.
"Menonaktifkan Komisioner DB sesuai laporan DK yang menyatakan tindak penyalahgunaan biaya sewa rumah dinas oleh Komisioner DB telah melanggar Pasal 4 dan Pasal 10 Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang Perubahan Kode Etik Anggota Komnas HAM," kata Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah di tempat yang sama.
Selain DB, Komnas HAM juga akan memeriksa seluruh jajaran pejabat yang disebut dalam laporan BPK terkait temuan pengeluaran fiktif itu. Mereka berjanji akan melakukan penindakan hasil laporan bagi mereka yang terlibat.
Atas adanya korupsi di tubuh komisinya, Roichatul mewakili Komnas HAM menyatakan permintaan maaf sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat Indonesia. Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila menyambung, komisinya juga meminta KPK turun tangan mengusut dugaan korupsi ini. "Soal temuan BPK itu, kami meminta KPK untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Pintu Komnas HAM terbuka lebar untuk KPK. Kami berharap KPK juga lakukan pencegahan. Kami berikan perhatian serius soal anggaran fiktif itu," pinta Siti.
Menurutnya, tim internal sejauh ini belum bisa mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab terhadap kuitansi fiktif itu.
"Makanya minta bantuan KPK. Sudah empat bulan, tapi belum ada progres. Kami merasa perlu bantuan teknis dari pihak lain," akunya.
Selain terkait penyelidikan, dalam surat tersebut Komnas HAM juga meminta KPK membantu dalam membangun sistem keuangan yang lebih akuntabel dan transparan.
Sementara, KPK mengaku sudah menerima laporan dugaan korupsi terkait anggaran fiktif Kesetjenan Komnas HAM senilai Rp 820 juta. Laporan itu diterima bagian Pengaduan Masyarakat KPK pada 28 Juni 2016 lalu. "Ada pengaduan yang diterima KPK pada 28 Juni 2016," kata Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati, kemarin.
Yuyuk mengatakan, saat itu, pihaknya merekomendasikan agar laporan itu diteruskan ke aparat penegak hukum lain. "Saat itu rekomendasi KPK adalah diteruskan ke APH (aparat penegak hukum) lain," ujar Yuyuk tanpa membeberkan alasannya "mengoper" pengaduan itu.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond Junaidi Mahesa, meminta Komnas HAM mempertanggungjawabkan dugaan penyelewengan anggaran tersebut. "Ini harus dipertanggungjawabkan oleh Komnas HAM. Bukan pribadi anggota saja," imbau Desmond saat dihubungi, kemarin.
Politikus Gerindra ini menjelaskan, Komnas HAM harus bertanggung jawab sekalipun hal itu disebut diselewengkan oleh oknum di komisi tersebut. "Masalahnya kan soal mekanisme dan mekanisme itu satu kesatuan yang utuh di bawah koordinasi ketua Komnas. Yang jadi soal itu perorangan seolah tidak kompak dan tidak bertanggung jawab. Jadi ada sesuatu yang merugikan keuangan, Komnas HAM-nya yang rusak," Desmond mewanti-wanti. ***
BERITA TERKAIT: