Hal itu diungkapkan Ketua KPK Agus Rahardjo saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR, kemarin. Soal ketiga kasus itu, awalnya ditanyakan Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman. "Apa benar sudah menutup sejumlah kasus seperti Sumber Waras, Century, BLBI?" tanya Benny.
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo juga mengingatkan, kasus BLBI dan Century telah merugikan negara hingga triliunan rupiah. Menurutnya, 33 buronan yang terlibat kasus BLBI juga hingga sekarang belum jelas keberadaannnya. "Sebagian besar belum mengembalikan kerugian negara," ujar Bambang.
Dia juga menanyakan kasus Century yang baru menjerat eks Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya. "Ada sejumlah nama, bahkan memegang posisi sangat penting. Ini bagaimana kabarnya? Padahal ini perbuatan bersama-sama," ucapnya.
Agus membantah, komisi yang dipimpinnya sudah menutup kasus-kasus itu. "Kami sampaikan, BLBI, Century, Sumber Waras dan lain-lain, kami tidak, belum ada keputusan diantara kami untuk menghentikan," tegasnya.
Agus mengaku heran darimana kabar yang menyebut ketiga kasus itu sudah ditutup. "Di tingkat kami tidak ada pembicaraan itu untuk menghentikan, itu masih berjalan," tegas Agus lagi.
Khusus soal Sumber Waras, Agus menyatakan komisinya akan segera bertemu BPK. Kedua lembaga itu akan mengkaji ada tidaknya perbedaan pengadaan tanah dalam pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI dengan tempat lain di Jakarta.
Senada, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menyatakan, KPK bekerja keras menindaklanjuti kasus-kasus itu. "Tidak (ditutup). Makanya saya juga heran yang mengisukan sendiri bahwa KPK telah menutup dua kasus itu. Masih penyelidikan. Ada progres yang baik," ungkapnya.
Namun, diakuinya, pengusutan kasus-kasus ini terkendala oleh beberapa hal. Dalam kasus Century, saksi kunci: Siti Fajriah sudah meninggal dunia. Sementara kendala yang dihadapi dalam pengusutan kasus SKL BLBI adalah bukti-bukti yang diterima KPK kebanyakan berupa salinan atau fotocopy.
Komisi antirasuah itu tak bisa hanya mengandalkan bukti fotocopy itu. Sebab, keaslian suatu barang bukti dapat diragukan di pengadilan nanti. "Kan sudah lama kasusnya. Bukan menyalahkan pimpinan sebelumnya, tapi banyak fotocopy. Kan otentisitas bukti itu bisa dipertanyakan di pengadilan. Kami sedang berupaya mencari bukti otentik lainnya," papar Syarif.
Dia juga membantah ada intervensi dalam pengusutan kasus-kasus ini sehingga terkesan jalan di tempat alias mangkrak. "Nggak ada sama sekali. Nggak terganggu pengaruh dari luar. Kalau cukup bukti, sekurang-kurangnya dua, kami maju," tegas dia.
KPK terkesan lambat mengusut kedua kasus itu. Pimpinan KPK saat ini, dianggap sama loyonya dengan KPK di bawah pimpinan Abraham Samad cs.
Saat itu, Abraham Samad sesumbar tak takut pada Megawati, sang penerbit SKL BLBI. "Kita sudah panggil JK (Jusuf Kalla), panggil Boediono di kasus lain, apalagi Mega! Dia kan sudah mantan (Presiden)," kata Abraham di Gedung KPK, Jumat 11 Juli 2014. "Kita bakal panggil, kita enggak masalah itu. Kalau memang kita harus panggil Megawati itu, karena KPK tidak ada hambatan yang gitu-gitu," tegasnya.
Nyatanya, hingga hari ini, Mega tak pernah dipanggil. Setahun kemudian, 2015, KPK menyebut tak menjadikan kasus SKL BLBI sebagai prioritas. Sebab, masih banyak kasus di tingkat penyidikan yang harus dituntaskan.
"Ya itu (SKL BLBI) kan penyelidikan. Kita mempercepat (kasus yang sudah) penyidikan ke atas dulu," kata Wakil Ketua KPK Zulkarnain, Februari 2015.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara tak mau begitu saja percaya dengan omongan Agus cs. Dia menganggapnya itu hanya angin segar semata. "Itu cuma retorika! Mereka sudah dikendalikan untuk tak membuka lagi kasus ini," katanya kepada
Rakyat Merdeka, semalam.
Marwan meminta KPK lekas membuktikan omongannya dengan tindakan yang nyata. Kalau tidak, maka benar, KPK hanya sekadar memberi angin surga. "Kalau omongannya benar, buktikan dengam action segera. Karena alat-alat bukti sudah lengkap," seru Marwan.
Untuk diketahui, kasus Century telah diusut KPK sejak 2012. Dalam kasus ini, baru Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa, Budi Mulya yang telah diseret ke pengadilan.
Budi dijatuhi vonis 12 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor. Belakangan, putusan kasasi MA memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Budi Mulya kini menghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung.
Dalam amar putusan, Budi Mulya disebut bersama-sama sejumlah pihak turut menyalahgunakan kewenangan dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Sejumlah pihak itu di antaranya eks wapres Boediono yang ketika itu menjabat Gubernur Bank Indonesia, dan Raden Pardede yang saat itu menjabat Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Namun, hingga kini, KPK belum juga menindaklanjuti putusan MA yang menyebut pihak lain yang terlibat kasus ini.
Kasus pemberian FPJP itu merugikan negara Rp689 miliar. Sementara penetapan century sebagai bank gagal berdampak sistemik, membuat negara mengalami kerugian sebesar Rp 6,762 triliun.
Sementara kasus SKL BLBI diselidiki KPK sejak 2013. Penyelidikan SKL yang diterbitkan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri ini belum juga beranjak dari tahap penyelidikan.
KPK pada era pimpinan Abraham Samad cs sudah meminta keterangan sejumlah pihak. Di antaranya, menko Perekonomian era Presiden Abdurahman Wahid, Rizal Ramli, Menteri BUMN era Mega, Laksamana Sukardi, Menteri Koordinator Perekonomian era Mega, Dorodjatun Kuntjoro Jakti,
BLBI merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat krisis moneter tahun 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, dari dana BLBI itu, negara dirugikan sebesar Rp138,4 triliun atau 95, 878 persen.
Sementara, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan terdapat penyimpangan sebesar Rp54,5 triliun dari 42 bank penerima BLBI. BPKP menyimpulkan, Rp53,4 triliun dari penyimpangan itu terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. ***
BERITA TERKAIT: