Sebab, dalam permohonan uji materiil, Ahok memohon masa cuti merupakan opsional bagi petahana dan bukan kewajiban seperti yang tertera dalam pasal 70 ayat 3 Undang-Undang Pilkada.
"Kalau dilakukan seperti Ahok minta, ini ada ketidakpastian hukum. Ahok minta cuti itu opsional maka di seluruh Indonesia itu ada ketidakpastian hukum, ada kepala dearah yang cuti, ada kepala daerah yang tidak cuti, itu memunculkan prinsip inequality before the law. Ini prinsip yang tidak setara, ini dilarang saat pemilu," jelas Rafly dalam diskusi bertema 'Seberapa Besar Peluang Gugatan Ahok Dikabulkan MK' di Mitra Terace, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Minggu (4/9).
Rafly menambahkan, kampanye bukan hanya kewajiban dan hak bagi calon kadidat kepala daerah, melainkan merupakan hak publik untuk mendapatkan visi misi dari calon kandidat yang akan dipilih. Untuk itu jugalah calon kepala daerah harus mendapatkan cuti kampanye seperti yang tertera dalam UU Pilkada.
Meski demikian, cuti selama empat bulan masa kampanye dikhawatirkan bisa mempengaruhi kebijakan petahana dan bertentangan dengan konstitusi lantaran mengurangi masa jabatan. Rafly mengusulkan agar cuti kampanye diwajibkan hanya pada saat kandidat petahana sedang berkampanye dan bertemu langsung dengan publik dalam kapasitasnya sebagai kandidat. Cuti kampanye tidak perlu sepanjang masa kampanye.
"Kalau cuti pada kampanye itu tidak mengurangi hak publik, KPU bisa mengatur yang namanya kampanye itu 10 kali dan minimal lima kali. Jangan sampai dia tidak kampanye, kalau tidak kampanye itu mengurangi hak publik," pungkasnya.
[wah]
BERITA TERKAIT: