Demikian disampaikan Direktur Indonesian Club, Gigih Guntoro, dalam diksusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (24/8).
"Perubahan kualitas layanan masih bersifat mencari keuntungan proyek. Publik masih sering melihat pendingin kereta tidak berfungsi, toilet kotor, kursi tunggu tidak layak, perlintasan kereta tidak memadai, kereta anjlok, sinyal rusak hingga terganggunya jadwal," kata Gigih.
Kehadiran negara dengan terbitnya UU 23/2007 tentang Perkeretaapian dan Permenhub 156/2015 tentang Pedoman Pedoman Perhitungan Biaya Perawatan dan Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian Milik Negara merupakan bentuk nyata pelayanan publik yang prima.
Atas dasar produk hukum tersebut, maka moda transportasi kereta api mendapat skema mengelola anggaran Publik Services Obligation (PSO) bidang angkutan kereta api pelayanan kelas ekonomi, biaya perawatan dan pengoperasian prasarana kereta api/infrastructure, maintenance and operation (IMO) dan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian/track access charge (TAC) yang dilakukan per tahun dengan besaran terus mengalami peningkatan. Skema ini telah berlangsung hampir 5 tahun lebih.
"Kehadiran negara yang paripurna melalui PSO dan IMO, mengapa layanan publik kereta api terkesan ala kadarnya dan cenderung bersifat proyekisme?" kritik Gigih
Gigih membeberkan meskipun sudah berlangsung lima tahun lebih tidak terdapat monitoring secara independen atas penyelenggaraan sarana dan prasarana kereta api.
Menurutnya, penyelenggaraan kewajiban pelayanan umum (PSO) untuk kereta ekonomi pada tahun 2015 mengalami kenaikan 24,45 persen menjadi Rp 1,52 triliun dari Rp 1,22 triliun pada tahun 2014. Namun disisi lain, PT KAI masih bersikukuh untuk terus menaikan harga tiket.
"Seharusnya jika alokasi anggaran PSO terus meningkat, tentu harga tiket masih tetap atau bahkan lebih murah. Ini tidak transparan, kami duga ada penyelwengan anggaran," kata Gigih.
Sementara skema perawatan (IMO) pada tahun 2015 yang bernilai Rp 1,7 triliun di dalam prakteknya, publik masih sering melihat layanan prasarana publik belum memadai dan tidak berkualitas. Tragisnya menurut audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2015 menemukan kerugian negara dalam skema IMO mencapai Rp 110 miliar lebih.
Berdasarkan temuannya, Gigih membeberkan skema dana PSO dan IMO di PT KAI saat ini justru terkesan menjadi modus bancakan bagi pejabat di Kementrian Perhubungan (jajaran dirjen Perkeretapaian dan PT KAI) dan elite politik untuk mengeruk uang negara.
"KPK harus melakukan audit investigasi secara menyeluruh dana PSO dan IMO dikelola Kementerian Perhubungan (Dirjen Perkeretapian) dan PT KAI. Hal ini penting dilakukan supaya ada transparansi pengelolaan anggaran. Aparat harus hukum bergerak cepat melakukan penyelamatan pembangunan infrastruktur dan pencapaian tujuan pembangunan nasional," demikian Gigih.
[zul]
BERITA TERKAIT: