Sanusi Pasrah

Didakwa Cuci Uang 45 Miliar

Kamis, 25 Agustus 2016, 10:01 WIB
Sanusi Pasrah
Mohamad Sanusi/Net
rmol news logo Mohamad Sanusi terlihat pasrah. Didakwa melakukan menerima suap Rp 2 miliar dan pencucian uang Rp 45 miliar, eks ketua Komisi D DPRD DKI ini memilih tak mengajukan eksepsi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin.

Sanusi tiba di Pengadilan Tipikor pukul 10.30 WIB. Berbatik coklat, dia duduk tenang di bangku penonton sidang. Sanusi didampingi sang kakak, Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik. Keduanya, terlihat berbincang santai. Sesekali, Taufik menepuk pundak Sanusi, tanda pemberian dukungan. "Mendampingi saja. Saya beri dukungan. Semoga sidang berjalan lancar," ujar Taufik yang mengenakan kemeja biru dibalut jaket.

Taufik hakul yakin, adiknya tak terbukti menerima suap dari pihak PT Agung Podomoro Land (APL) dalam kasus ini. Menurutnya, tak ada bukti adiknya yang sama-sama politikus Partai Gerindra itu menerima suap. "Insya Allah tidak terbukti. Lagian apa yang mau disuap?" seloroh Taufik.

Sidang dimula sekitar pukul 11. Dakwaan langsung dibacakan. Jaksa KPK menjerat Sanusi dengan dua dakwaan. Dakwaan pertama, Sanusi menerima suap Rp 2 miliar secara bertahap dari Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja. Uang itu diberikan ke Sanusi melalui asisten Ariesman, Trinanda Prihantoro.

"Pemberian tersebut dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," ujar Jaksa Ronald Worontika dalam sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, kemarin.

Jaksa mengatakan, patut diduga suap Rp 2 miliar itu ditujukan dengan maksud Sanusi selaku anggota DPRD DKI dan Ketua Komisi D DPRD DKI dapat membantu percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Perda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP). Sanusi juga diharapkan mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman yang juga menjabat Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra.

Anak perusahaan PT APL itu ingin lekas mempunyai legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G kawasan Reklamasi Pantura Jakarta. Selain menerima suap, Jaksa juga mendakwa Sanusi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Jaksa menyebut, Sanusi memiliki kekayaan Rp 45 miliar lebih plus US$ 10 ribu yang diduga didapat dari tindak pidana. Sebab, jaksa menilai, kekayaan itu tak sesuai dengan pendapatan eks politikus Gerindra tersebut selama menjabat anggota DPRD DKI Jakarta.

Jaksa menyampaikan, pendapatan resmi Sanusi hanya Rp 4,8 miliar. Pendapatan resmi Rp 4,8 miliar itu terdiri dari berbagai komponen. Pertama, dari jabatannya anggota DPRD DKI Jakarta dan jabatan struktural lainnya sejak September 2009 hingga April 2016. Total pendapatannya dari jabatannya itu sebesar Rp 2.237.985.000.

Kedua, sesuai SPT tahunan pajak penghasilan (PPh) yang dilaporkan, Sanusi mempunyai penghasilan lainnya terkait pekerjaan di PT Bumi Raya Properti. Total pendapatan Sanusi dari perusahaan ini adalah Rp 2.599.154.602.

Uang Rp 45 miliar itu dalam bentuk 11 unit tanah dan bangunan mewah di Jakarta dan Bogor, 2 unit mobil Audi dan Jaguar, serta valuta asing berjumlah 10 ribu dolar AS yang ditemukan dalam brankas di lantai 1 rumah Jalan Saidi I No 23 RT 011 RW 007 kelurahan Cipete Utara Kebayoran Baru.

Sejumlah aset itu telah disita KPK. Di antaranya bangunan Muhammad Sanusi Center di Condet, Jakarta Timur; rumah di Jalan Saidi, Cipete, Jakarta Selatan, unit apartemen di Soho Pancoran, Jakarta Selatan serta aset Sanusi di Vimala Hills Gadog, Bogor. Sementara kendaraan yang telah disita yakni mobil Audi dan Jaguar bernomor polisi B-123-RX.

"Asal usul perolehannya tak dapat dipertanggungjawabkan secara sah karena menyimpang dari porfil penghasilan terdakwa selama menjadi anggota DPRD DKI Jakarta," tegas Jaksa.

Apalagi, selama menjadi anggota DPRD DKI Jakarta periode 2009-2014 dan 2014-2019, Sanusi diketahui tak pernah melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negera (LHKPN) ke KPK.

Aset kekayaan Rp 45 miliar lebih itu terungkap merupakan hasil pemberian dari sejumlah perusahaan rekanan Dinas Tata Air Pemerintah Provinsi DKI yang melakukan proyek pekerjaan antara tahun 2012 sampai 2015.

Rinciannya, dari Direktur Utama PT Wirabayu Pratama, Danu Wira sebanyak Rp 21 miliar lebih. PT Wirabayu Pratama dan dari Komisaris PT Imemba Contractors, Boy Ishak sejumlah Rp 2 miliar. Selain itu Sanusi juga menerima penerimaan dari pihak-pihak lain sebanyak Rp 22 miliar lebih.

Usai sidang dakwaan, penasehat hukum Sanusi, Krisna Murti mengatakan, pihaknya tak akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan jaksa. Alasannya, ingin mempercepat proses persidangan. "Kami tidak akan eksepsi. Kami ingin mempercepat proses peradilan. Undang-Undang mengatur 90 hari harus selesai. Jadi kita pikir percepat saja," tutur Krisna.

Krisna menilai, dakwaan yang disampaikan Jaksa itu terdapat kesalahan dan tidak tepat. Terutama yang menyangkut dugaan pencucian Rp 45 miliar lebih yang dilakukan Sanusi. Karenanya, tanpa mengajukan eksepsi, Krisna ingin ‘bertarung’ di agenda pembuktian yang dimulai dari pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan nanti.

"Pihak-pihak lain siapa saja? Sebutkan di situ dong. Sementara rekening-rekening lainnya pun disebut. Jadi kita tinggal di pembuktian saja nanti," ucap Krisna.

Sanusi sendiri saat diwawancarai, hanya meminta doa. "Kita harus buktikan di pengadilan. Doain saja saya bisa buktikan di pengadilan dengan saksi-saksi yang dihadirkan," ujarnya dengan nada pelan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA