Namun, saat permintaan itu ditolak, Devfanny yang pernah menjabat kepala Sekretariat Pimpinan FFUI justru mendapat Surat Keputusan (SK) mutasi dan Surat Peringatan (SP) 2.
"Semua baik-baik saja sampai akhirnya saya dipaksa meninggalkan meja kerja saya hanya karena saya menolak mengerjakan sesuatu yang memiliki resiko cukup besar dan bukan bagian dari tanggung jawab saya," kata Devfanny kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (10/6).
Devfanny memaparkan, dirinya sempat diminta Dekan Farmasi UI, Mahdi Jufri untuk menulis surat kepada Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) terkait biaya ujian sertifikasi kompetensi apoteker sebesar Rp 500 ribu. Pasalnya, sejumlah apoteker telah membuat petisi untuk menolak biaya ujian yang diminta Mahdi tersebut.
"Anak apoteker nolak bayar biaya ujian sertifikasi kompetensi. Jadi, mereka bikin petisi, dekan gemeteran. Saya, diminta bikin surat ke IAI tentang rincian biaya itu," beber mantan laboran tersebut.
Devfanny lalu meminta persetujuan ketua program studi (Kaprodi) apoteker terkait pembuatan surat tersebut. Mengingat, Mahdi juga diundang saat rapat penentuan biaya.
"Saya sudah konfirmasi ke Kaprodi Apoteker. Katanya surat itu nggak perlu dibuat," papar pegawai tetap UI yang sudah mengabdi selama delapan tahun tersebut.
Hal itu diduga menjadi pemicu Mahdi untuk melayangkan surat peringatan (SP 2) serta Surat Keputusan (SK) mutasi sebanyak dua kali terhadap Devfanny.
Tidak terima dengan hal itu, Devfanny mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur untuk menuntut keadian yang didaftarkan sejak 7 Januari 2016 lalu.
Saat diklarifikasi, Mahdi enggan mengomentari dan menyerahkan hal tersebut kepada Kepala Humas dan KIP UI, Rifelly Dewi Astuti.
"Saya sudah serahkan ke humas UI (Rifelly). Jadi, mohon hubungi humas UI saja," timpal Mahdi melalui pesan singkat elektronik.
[wid]
BERITA TERKAIT: