Menurut dia, bila kasus ini tetap dipaksakan bisa membuat orang Indonesia malu. Dari sudut pandang semiotik, kata Ferry, foto Nikita dan Jokowi tidak mengandung unsur porno.
Dia jelaskan, dalam foto tersebut sorotan mata biasa, tidak ada lirikan mesra. Gerakan tangan keduanya juga biasa, tidak ada raba-meraba.
"Raut wajah sang artis tidak merona merah, gerakan tubuh normal tidak ada pelukan, atau rangkul-merangkul. Jadi tidak ada tanda-tanda atau fenomena yang dapat dikonotasikan bahwa mereka seperti orang lagi kasmaran, apalagi bersetubuh tidak terjadi,†tegas Ferry.
Menurutnya, kode responsorial yang dibagikan Ongen di Twitter kepada followersnya hanya respon spontanitas semata. Bahkan, di dalam kode-kode hastak Yulian Paonganan terdapat decak kagum dan simpatik.
Sementara dari sisi ikonisasi maka bisa ditarik ke paha. Menurutnya, itu sebuah validtas tanda. Ikon pada paha Nikita bertato tidak representative menimbulkan nafsu birahi. Bahkan sebaliknya, konteks kata ini memiliki nuansa pengertian semiosis yang jelas berbeda.
"Dalam pengertian ini terlalu gegabah untuk beranggapan bahwa ‘Paha’ diakui sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ‘nafsu’ yang sama, ketika melihat ‘mulus’ wanita, atau ketika melihat paha ayam yang ‘montok’ dan ‘gurih’. Karena itu, ‘Paha’ tidak selalu dapat didefinisikan sebagai pembangkit ‘nafsu birahi’ atau 'menerbitkan air liur’,†tegasnya.
Nah, soal alat kelamin anak kecil, menurut Ferry, tidak masuk dalam kategori porno. "Jadi tuduhan itu dari sisi terminology semiosis terbantahkan,†ungkapnya.
Dari sisi Indeks yang menghubungkan jarak tempat duduk, tidak ada keakraban. Karena jarak antara papa dan Nikita sekitar 10 â€" 15 Cm. Disitu tidak ada keakraban, tidak ada kemesraan, apalagi yang untuk dikatakan bersetubuh.
"Ungkapan Ongen di retweet berulang-ulangkali dan dishare kepada followersnya menunjukkan rasa kaget dan malu (ma-siri’) yang sangat dalam, tidak bisa menerima perlakuan seseorang yang mendampingi Presiden hanya berpakaian seronok seperti itu dalam forum penonton bioskop.
"Jika bicara soal kulture, jangan samakan antara Jawa dengan Sulsel. Karena di Sulses, seorang pejabat publik harus punya tenggang rasa dan selalu menjaga jarak menurut tata krama yang dipahami oleh masing-masing tingkat dan golongan masyarakat.Apalagi cara berpakaian sarat dengan etika dan estetika. Keluar dari tatanan kultur tersebut, maka yang terjadi adalah rasa Siri’ na Pacce."
Dia menambahkan, foto dan hastak yang dibagikan Ongen di Twitter konstruksinya tidak lengkap. Seharusnya, perlu direkonstruksi ulang sesuai keperluan makna yang dikehendaki oleh pemilik akun.
"Frase ungkapan itu perlu dibatasi (dihedging) yakni: Papa siapa? "Papa sayaâ€, "papa Nikitaâ€, atau orang lain; dan Paha yang mana? "Paha mulusâ€, "paha bertatoâ€, atau "paha ayamâ€? Sehingga dapat dipersepsi makna sesungguhnya dari si pengunggah asli,†ujarnya.
"Jika paha ‘bertato’ adalah ‘Lonte’. Bila penyataan ini benar, maka semua orang yang memiliki paha ‘bertato’ adalah ‘Lonte’. Pernyataan affirmative harus selalu diikuti oleh konteks dan teks yang jelas, sehingga makna yang benar juga diperkuat oleh inferensi foto yang jelas! Bukan tafsiran imaginasi yang tidak bermakna apa-apa,†demikian Ferry.
[sam]
BERITA TERKAIT: