Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), Fadli Nasution, mengkritik kebijakan Jaksa Agung itu. Menurut Fadli, keputusan deponering itu aneh dan berpotensi menimbulkan kegaduhan di bidang penegakan hukum.
"Meskipun deponering adalah hak prerogatif Jaksa Agung, tapi harus didasarkan pada alasan hukum yang kuat dan benar-benar demi kepentingan umum yang lebih luas," sebut dia kepada redaksi, Jumat (4/3).
Dicontohkan Fadli pada perkara Bibit-Chandra tahun 2010 lalu, terlebih dahulu dikeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), setelah dibatalkan oleh Praperadilan barulah ditempuh jalan terakhir yaitu deponering.
"Hal ini mengingat kuatnya desakan publik melalui jutaan Facebooker dan Bibit-Chandra masih menjabat pimpinan KPK pada saat itu. Akhirnya perkara ditutup dan Bibit-Chandra kembali menjabat Pimpinan KPK hingga selesai masa jabatannya," ungkapnya.
Menurut Fadli, berbeda dengan perkara AS dan BW sekarang, keduanya sudah tidak menjabat Pimpinan KPK lagi, seharusnya diteruskan ke Pengadilan agar rasa keadilan masyarakat umum dapat terpenuhi sekaligus membuktikan apakah kasus ini kriminalisasi atau tidak.
Karena keanehan keputusan Jaksa Agung ini, PMHI meminta DPR untuk menggunakan Hak Angket guna menyelidiki apa yang menjadi latar belakang dikeluarkannya deponering ini, mengingat Komisi III DPR sebelumnya pernah menolak rencana Jaksa Agung ini.
Ditambahkan Fadli, Presiden Jokowi juga tidak bisa tinggal diam, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Jaksa Agung.
"Saya kira masih banyak tokoh yang lebih kompeten untuk menjabat Jaksa Agung, apalagi jika bukan politisi yang berasal dari kader partai," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: