Kriminolog UI: Kejaksaan Tak Berdaya Eksekusi Rp 168 Triliun Hasil Korupsi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Rabu, 29 Juli 2015, 19:39 WIB
Kriminolog UI: Kejaksaan Tak Berdaya Eksekusi Rp 168 Triliun Hasil Korupsi
Ferdinand Andi Lolo/net
rmol news logo . Kerugian negara dari 1.365 kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsde dari rentang waktu 2001 hingga saat ini mencapai Rp 168,19 triliun. Sayangnya, dari nilai tersebut uang yang berpotensi kembali ke negara hanya Rp 15,09 triliun saja atau sekitar 8,97 persen.

Menyikapi kondisi itu, kriminolog dari Universitas Indonesia Ferdinand Andi Lolo menyatakan hal tersebut menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia belum efektif memulihkan aset yang dirampok para koruptor. Ferdinand menyatakan, sebenarnya Indonesia sudah memiliki 'kendaraan' untuk menyelesaikan barang rampasan atau mengoptimalkan penerimaan kas negara dari kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan korupsi.

"Seharusnya dapat diselesaikan lewat Pusat Pemulihan Aset (PPA) di Kejaksaan Agung. Karena melalui PPA akan lebih mudah melakukan kontrol terhadap barang rampasan. Kalau tidak ada PPA, kontrol akan barang itu jadi sulit. Karena berpotensi 'dimainkan' oleh oknum penyidik," kata Ferdinand di Jakarta, Rabu (29/7).

Ferdinand menjelaskan, sistem yang ada di PPA sebenarnya sudah memenuhi transparansi dan akuntanbilitas publik, dimana aset yang disita dimasukkan ke dalam situs dan publik bisa mengakses.

"Potensi korupsi yang akan dilakukan penyidik jadi tidak ada sama sekali. Karena ketika penyidik menyita 10 kemudian mengatakan 5, itu publik bisa bertanya dalam situs PPA ada 10, 5-nya ke mana? Itu untuk mengurangi penggelapan. Kalau tidak ada PPA, dampaknya kemungkinan terjadinya double corruption," cetusnya.

"Melalui PPA, maka mereka tidak mungkin melakukan kecurangan karena barang rampasan itu langsung masuk ke kas negara. Ketika ada lelang. Misalnya ada properti atau apa, uang itu langsung dibayar ke kas negara atau apa bukti penerimaan itu dibuktikan kepada negara baru dirilis," tutur Ferdinand menambahkan.

Sayangnya, keberadaan PPA di era Jaksa Agung HM Prasetyo saat ini seperti tidak ada tajinya. "Jaksa Agung saat ini tidak memiliki perhatian pada pemulihan aset. Hal ini, berbanding terbalik dengan mantan Jaksa Agung Basrief Arief yang fokus pada pemulihan aset. Padahal PNBP masih banyak yang belum tertagihkan. Sekarang sepertinya mengendur. Dan Kejaksaan sepertinya disibukkan isu yang lain," paparnya.

Pemerhati kejaksaan, Kamilov Sagala pun menyatakan miris dengan kinerja Jaksa Agung dan pimpinan PPA saat ini. "Sangat miris dan prihatin dengan kinerja Jaksa Agung dan PPA yang belum maksimal terkait pengembalian kerugian negara," kata Kamilov.

Padahal, lanjut dia, sejujurnya institusi ini memiliki Chuck Suryosumpeno yang sangat paham tentang pemulihan aset. "Sayang jika Kejaksaan tidak memberdayakan prestasi jaksa itu, banyak penegak hukum dari luar negeri yang datang berkonsultasi dan minta pendapatnya, tapi institusinya sendiri malah tidak tahu," ucapnya.

Menurutnya, jika kinerja PPA mau optimal dan kembali berprestasi seperti sebelumnya, dibutuhkan dukungan SDM yang mampu bekerja dengan akselerasi yang tinggi.

"Bagaimana bisa pemerintah memberikan tambahan anggaran ataupun intensif atau reward jika kinerjanya hingga kini malah melempem, bahkan saya mengusulkan agar remunerasi para Jaksa yang sempat meningkat karena hasil PNBP yang disetorkan PPA tahun lalu turut direvisi! Saya rasa pemulihan aset adalah barang baru buat JA saat ini, padahal hal jika ini tidak ditindaklanjuti menunjukan kinerja JA pincang," tukas Kamilov. [rus]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA