Martimus Amin dari The Indonesian Reform mengingatkan, sudah 30 tahun RUU KUHP diajukan oleh pemerintah ke DPR, namun sampai saat ini pembahasannya masih tertunda. Terlebih dalam rapat kerja Komisi III dan Menkumham dua bulan lalu, pemerintah belum menyerahkan Naskah Akademik (NA) dan draf RUU KUHP yang sudah menjadi agenda prolegnas DPR.
Kajian RUU KUHP yang diprakarsai NGO seperti ELSAM yang melibati pakar hukum pun masih berpolemik berkisar soal HAM, larangan Marxisme -Leninisme, dan sebagainya. Namun belum satupun menyentuh soal delik zina.
"Tampaknya masalah hubungan kelamin di luar ikatan pernikahan dinilai urusan ranah pribadi (privat). Negara merasa tidak perlu ikut campur tangan," ujarnya.
Selain ditinjau dari aspek sosiologis yang cukup pelik, sistem hukum nasional tidak memiliki daya tampung mengatasi kejahatan zina bilamana pun sampai diakomodasi dalam revisi RUU KUHP. Padahal, definisi delik zina sebagaimana Hukum Pidana Islam (HPI) tidak dapat dikutip dan dilaksanakan secara parsial.
"HPI mempunyai sistem, perangkat dan tata cara, dan kultur tersendiri, sehingga secara efektif mampu mencegah dan menindak kejahatan zina," terangnya.
Karena itu, ia yakin Indonesia tidak akan pernah mampu memberantas kejahatan prostitusi yang telah menggerus tatanan sosial. Terkecuali, negara menggunakan sistem HPI secara utuh menjadi sumber hukum positif menggantikan sistem hukum yang lama, tandasnya
.[wid]
BERITA TERKAIT: