Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kalau KPK Lumpuh, Penanganan Kasus-kasus Korupsi Bisa Mangkrak

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Minggu, 08 Februari 2015, 20:51 WIB
Kalau KPK Lumpuh, Penanganan Kasus-kasus Korupsi Bisa Mangkrak
rmol news logo Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini terancam lumpuh kalau sampai empat pimpinannya, yang diadukan ke Bareskrim Mabes Polri, ditetapkan sebagai tersangka.

Bambang Widjojanto malah telah ditetapkan sebagai tersangka. Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja ditengarai hanya tinggal menunggu waktu karena Surat Perintah Penyidikan (sprindik) sudah keluar. Zulkarnaen juga sudah dilaporkan sebelumnya.

Menariknya, berbagai kasus yang diduga melibatkan empat pimpinan KPK dilakukan jauh sebelum mereka menjadi aparat penegak hukum di lembaga antirasuah tersebut.

Dugaan kasus foto mesra dan pemalsuan dokumen Feriyani Lim yang berpotensi menjerat Ketua KPK Abraham Samad misalnya terjadi pada 2007. Kasus kesaksian palsu Pemilukada yang menjerat Bambang Widjojanto pada tahun 2010 saat dia masih menjadi advokat.

Sementara, Adnan Pandu Praja diperkarakan atas kasus tahun 2006 atas tuduhan penguasaan perusahaan secara ilegal. Terakhir, Zulkarnain dilaporkan atas dugaan suap kasus Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) saat menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada 2010.

Karena itu tak heran kalau masyarakat menilai bahwa ini tidak lepas dari keputusan lembaga antirasuah tersebut menetapkan Komjen Budi  Gunawan sebagai tersangka pada 13 Januari 2015. Malah, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM era SBY, Denny Indrayana menyebutnya sebagai ‘jurus mabuk.’

Dugaan ini mencuat karena pimpinan KPK sebelumnya, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto juga dikriminalisasi. Bahkan perseteruan KPK-Polri memunculkan istilah populer "Cicak Vs Buaya," yang berawal dari Kabareskrim saat itu, Komjen Susno Duadji.

Hubungan kedua lembaga penegak hukum tersebut juga sempat memanas, saat penetapan kepada Kepala Korps Lalu Lintas Polri  Irjen Djoko Susilo (2012) sebagai tersangka kasus korupsi proyek simulator ujian SIM.

Jika pengusutan kasus kepada semua komisioner KPK dilanjutkan, tentu KPK akan lumpuh total. Ini tentu bertentangan dengan besarnya harapan rakyat untuk membebaskan negara ini dari jeratan korupsi. Karena berkembang informasi, kalau semua pimpinan KPK dijerat, para pegawainya juga akan mundur.

Padahal saat ini KPK menargetkan penyidikan sejumlah kasus yang masih mangkrak akan selesai dalam kurun satu semester atau enam bulan ke depan, diantaranya: kasus yang menjerat mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, mantan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana, dan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik.

Karena itu, permintaan Wakil Ketua Tim Independen Jimly Asshiddiqie layak dipertimbangkan, agar Bareskrim Polri untuk menunda proses hukum para komisioner KPK tersebut.

Jika kasus yang terjadi pada komisioner KPK itu terjadi jauh sebelum menjabat, seharusnya Bareskrim juga bisa menungggu pengusutan kasus tersebut setidaknya hingga masa jabatan berakhir pada Desember mendatang.

Malah, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi lebih jauh menilai, Komisioner KPK seharusnya memiliki hak impunitas pada saat menjabat. Komisioner KPK tidak bisa dijadikan tersangka, apalagi dipidana, atas dugaan atau tuduhan telah melakukan tindak pidana yang diduga dilakukan yang bersangkutan sebelum terpilih dan menjabat sebagai komisioner KPK.  

Komisioner KPK dalam nalar sehat hanya bisa dijadikan tersangka apabila tindak pidana yang dituduhkannya dilakukan pada saat yang bersangkutan menjabat komisioner KPK (pasal 33 ayat 2 UU No 30/2002).

Karena, Panitia seleksi calon pimpinan KPK (2011-2015) yang dipimpin Menkum HAM (waktu itu) Patrialis Akbar telah memberi kesempatan cukup lama kepada masyarakat guna melaporkan kemungkinan adanya tindak pidana atau perbuatan tercela yang pernah dilakukan para kandidat itu. Perlu diingat, Menkum HAM mengumumkan 8 (delapan) kandidat pimpinan KPK pada 18 Agustus 2011 untuk fit and proper test di DPR.

Sedang Komisi Hukum DPR baru menetapkan empat (4) pimpinan KPK terpilih pada pekan pertama Desember, dan Presiden melantiknya seminggu kemudian yakni pada 16 Desember 2011. Karena itu menurutnya, kalau ada sekarang orang mengadukan pimpinan KPK yang terkait kasus-kasus yang dilakukan sebelum menjabat, layak dipidana dengan pasal 165 KUHP, menutup-nutupi kejahatan.

Meski memang, kriminalisasi terhadap pimpinan KPK bukanlah cara satu-satunya dalam melemahkan lembaga anti rusuwah itu. Upaya pelemahan KPK lewat berbagai cara bahkan sudah dilakukan secara massif, terstruktur dan terorganisir. Selain lewat kriminalisasi dan rekayasa hukum terhadap pimpinan atau pegawai KPK.

Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada sepuluh upaya lain yang terkait pelemahan KPK selama ini, yakni: judicial review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi; Penolakan anggaran oleh DPR; pemilihan calon pimpinan KPK; pengusulan regulasi yang berpotensi melemahkan KPK oleh DPR maupun pemerintah; Penarikan tenaga penyidik yang diperbantukan di KPK.

Lalu intimidasi terhadap KPK (Seperti ancaman bom 2008-2009, kepungan KPK oleh penyidik kepolisian pada Oktober 2013, hingga kasus Novel Baswedan); wacana pembubaran KPK oleh beberapa  anggota DPR; menghalang- halangi proses penyidikan dan penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK; intervensi dan delegitimasi kewenangan KPK; dan pengurangan hukuman (remisi) terhadap pelaku korupsi yang dijerat oleh KPK. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA