Pada tanggal 4 Juli 2014 mereka mengajukan Judicial Review terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan berbunyi Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tujuan pengajuan ini adalah untuk memberikan kepastian dan perlindungan terhadap hak konstitusional setiap warga negara Indonesia, khususnya hak beragama, hak untuk melangsungkan perkawinan, hak untuk membentuk keluarga, hak atas kepastian hukum, hak atas persamaan di hadapan hukum dan hak atas kebebasan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Perwakilan tim pemohon, Damian Agata Yuvens, berpendapat bahwa pengajuan ini tidak bertujuan melangkahi hukum agama, namun untuk memperbaiki posisi negara dalam konstelasi hukum perkawinan.
"Saya dan para pemohon tidak ada yang sedang menjalani hubungan berbeda agama saat ini. Pengajuan permohonan ini bukanlah hal yang bersifat personal, namun murni berasal dari keresahan kami terhadap sebuah
policy yang kami anggap multitafsir dan melanggar hak warga negara," katanya dalam surat elektronik yang diterima redaksi.
Damian juga beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan bernegara. Hal mana tidak terpenuhi dengan adanya Pasal 2 ayat (1) yang dapat ditafsirkan berbeda oleh setiap orang. Pernikahan warga negara yang agamanya berbeda atau pernikahan antara warga negara yang agamanya diakui dan tidak diakui berpotensi menimbulkan pelbagai masalah secara legal. Pernikahan yang tidak sah secara hukum bisa berdampak pada anak yang tidak memiliki akta lahir ataupun surat-surat lainnya.
"Pasal 2 ayat (1) secara implisit juga menyiratkan bahwa hanya warga negara yang agamanya diakui oleh Republik Indonesia yang bisa mendapat kepastian hukum. Bagaimana dengan agama Parmalim, Hindu Kaharingan, atau bahkan Baha’i yang baru diakui Menteri Agama? Inilah saatnya urusan administratif tidak diintervensi oleh urusan agama. Kami tidak mengesampingkan peranan agama, namun mari kita melangkah lebih jauh untuk menghargai perbedaan," terangnya.
Pernikahan adalah sah bila dilakukan sesuai dengan ajaran agama. Tapi bagaimana bila agama salah satu mempelai belum diatur dengan jelas?"Saya rasa penting bagi kita untuk membuat aturan yang bisa mengakomodir seluruh agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Jika tidak, akhirnya akan ada banyak pemalsuan identitas demi untuk mendapatkan kepastian hukum," tutur Damian.
[ald]