Armenia, yang selama ini mengandalkan Rusia untuk keamanan menghadapi Azerbaijan, mulai mengalami keretakan hubungan dengan sekutu tradisionalnya itu sejak Moskow tidak turun tangan saat serangan Azerbaijan ke Nagorno-Karabakh pada 2023.
“Kami menuntut penarikan pangkalan Rusia dari wilayah Armenia. Kehadiran pangkalan ini tidak menjamin keamanan, melainkan menciptakan ancaman internal,” ujar Arman Babajanyan, salah satu penyelenggara aksi, dikutip dari
AFP, Minggu, 24 Agustus 2025.
Para demonstran membawa spanduk bertuliskan “Armenia tanpa sepatu bot Rusia” dan “Akhiri pendudukan Rusia”.
Seorang peserta aksi, Anahit Tadevosyan (74), menilai Rusia sebagai ancaman sebagaimana yang terjadi di Ukraina saat ini.
“Rusia harus pergi dari Armenia. Mereka menghancurkan Ukraina, dan mereka telah mengkhianati kami," tegasnya.
Namun, di saat bersamaan, puluhan orang menggelar aksi tandingan mendukung keberadaan militer Rusia.
“Pangkalan Gyumri memastikan kemerdekaan dan keamanan Armenia,” kata Manuk Sukiasyan dari gerakan Mother Armenia.
Pangkalan Militer Rusia ke-102 di Gyumri, yang menampung sekitar 3.000 tentara, telah hadir sejak 1995.
Tahun lalu, Moskow sepakat menarik sebagian pasukan dan penjaga perbatasan dari Armenia, tetapi tetap mempertahankan kehadiran di perbatasan negara itu dengan Turki dan Iran.
Ketegangan Armenia-Rusia semakin memanas setelah Yerevan menyatakan menangguhkan partisipasi de facto dalam Pakta Pertahanan Kolektif (Collective Security Treaty Organization / CSTO) yang dipimpin Moskow.
Armenia juga resmi bergabung dengan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) tahun lalu, yang secara hukum mewajibkan menangkap Presiden Rusia Vladimir Putin jika ia memasuki wilayah Armenia.
BERITA TERKAIT: