Macron menyebut Afrika lupa mengucapkan terima kasih atas pengerahan militer Prancis selama satu dekade untuk memerangi pemberontakan Islamis.
"Saya pikir mereka lupa mengucapkan terima kasih. Tidak masalah, itu akan terjadi seiring waktu,” kata Macron, seperti dimuat
Daily Trust pada Rabu, 8 Januari 2025.
Prancis, di bawah presiden saat itu Francois Hollande, pada tahun 2013 memulai operasi militer di Mali dan wilayah Sahel untuk memerangi pemberontakan Islamis.
Lima puluh delapan tentara Prancis tewas dalam operasi tersebut, yang pertama kali dikenal sebagai Serval dan kemudian Barkhane.
Menurut Macron, Prancis telah melakukan hal benar dan berjasa dalam memerdekakan negara Afrika.
"Kami melakukan hal yang benar, katanya tentang pengerahan militer, seraya menambahkan bahwa tidak ada negara di kawasan Sahel yang akan berdaulat saat ini tanpa campur tangan itu," ujarnya.
Sayangnya kini banyak negara Afrika yang mengusir tentara Prancis, menyusul kudeta militer di Mali pada tahun 2020, diikuti oleh kudeta kedua pada tahun 2021, Burkina Faso pada tahun 2022, dan Niger pada tahun 2023 yang memaksa penarikan pasukan Prancis.
"Kami pergi karena ada kudeta, karena kami berada di sana atas permintaan negara-negara berdaulat yang meminta Prancis untuk datang. Prancis tidak lagi punya tempat di sana karena kami bukan asisten para pelaku kudeta," kata Macron.
Presiden Chad Mahamat Idriss Deby Itno merasa tersinggung dengan perkataan Macron yang disebut telah menghina Afrika.
"Ingin menyatakan kemarahan saya atas pernyataan yang berbatasan dengan penghinaan terhadap Afrika dan orang Afrika," ujarnya.
Pada akhir November, Chad, yang menjadi tuan rumah pangkalan militer terakhir Paris di Sahel, mengakhiri perjanjian pertahanan dan keamanan yang menghubungkannya dengan bekas negara kolonial itu, dengan mengatakan bahwa perjanjian itu sudah tidak berlaku lagi.
Sekitar seribu personel militer Prancis ditempatkan di negara itu dan sedang dalam proses penarikan.
Pemimpin Chad menambahkan bahwa keputusan untuk mengakhiri perjanjian kerja sama militer dengan Prancis adalah sepenuhnya keputusan kedaulatan Chad. Tidak ada ambiguitas dalam hal ini.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Chad, Abderaman Koulamallah menyebut pernyataan Macron adalah penghinaan terhadap Afrika dan pemimpin Prancis itu harus belajar untuk menghormati orang Afrika.
Perdana Menteri Senegal Ousmane Sonko ikut mengecam Macron karena menyarankan negara-negara Afrika perlu menunjukkan rasa terima kasih kepada Prancis.
"Prancis tidak memiliki kapasitas maupun legitimasi untuk memastikan keamanan dan kedaulatan Afrika. Sebaliknya, hal itu sering kali berkontribusi terhadap ketidakstabilan negara-negara Afrika tertentu seperti Libya dengan konsekuensi bencana bagi stabilitas dan keamanan Sahel,” kata dia.
Senegal mengumumkan akhir tahun lalu bahwa semua kehadiran militer Prancis dan asing di wilayahnya akan berakhir pada tahun 2025.
BERITA TERKAIT: