Juru bicara Kemlu RI, Roy Soemirat mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima laporan kasus tersebut dan tengah menyelidikinya dengan seksama.
"Kami sedang memeriksa laporan secara menyeluruh, memastikan bahwa penyelidikan mengikuti semua pedoman hukum," kata Roy dalam sebuah keterangan yang dilihat redaksi pada Kamis, 2 Desember 2024.
Roy memastikan bahwa korban telah menerima dukungan psikologis dan menegaskan komitmen Kemlu untuk tidak menerima perilaku diplomat yang melanggar etika diplomatik.
"Kemlu senantiasa mewajibkan semua jajaran untuk mematuhi kode etik dan standar profesionalisme yang tinggi dalam menjalankan tugasnya serta tidak akan mentolerir perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etika diplomatik," tegasnya.
Dikatakan Roy, sebagai bentuk pencegahan, sejak tahun 2022 Kemlu juga telah mengeluarkan Surat Edaran terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Kemlu dan perwakilan RI di luar negeri.
Kasus dugaan pelecehan Dubes Usra terungkap melalui petisi yang diajukan oleh tim kuasa hukum korban, yang meminta campur tangan dari Kemlu RI.
Menurut petisi itu, korban mengatakan bahwa pada 7 Februari 2024, selama menjalankan tugas resmi di kedutaan, Dubes Usra diduga melakukan tindakan fisik yang tidak diinginkan.
Korban, yang identitasnya dirahasiakan karena alasan privasi, menggambarkan kejadian itu sangat traumatis, yang membuatnya kembali ke Jakarta untuk konseling dan dukungan.
Evaluasi psikologis oleh Kemlu RI dilaporkan mendiagnosis korban dengan Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD) yang parah, kecemasan, dan depresi.
Korban mengaku mendapat tindakan tindakan pembalasan setelah dugaan pelecehan tersebut, termasuk pemutusan hubungan kerja yang tidak dapat dibenarkan dan pengawasan yang berlebihan dalam perannya di kedutaan.
Kuasa hukum korban telah secara resmi mengajukan banding ke Kemlu RI, meminta penyelidikan independen atas masalah tersebut, pembatalan pemutusan hubungan kerja, dan kompensasi yang sesuai atas kerugian yang ditimbulkan.
BERITA TERKAIT: