Sementara kursi terbanyak dimenangkan oleh koalisi sayap kiri Front Populer Baru dengan 180 kursi dan posisi kedua diisi oleh aliansi tengah Presiden Emmanuel Macron 160 kursi.
Menurut hasil resmi yang dirilis Senin pagi (8/7), ketiga blok utama tersebut tidak mampu mencapai 289 kursi yang dibutuhkan untuk mengendalikan Majelis Nasional yang memiliki 577 kursi, yang merupakan badan legislatif yang lebih berkuasa di Perancis.
Hasil ini membuat Perancis, yang merupakan pilar Uni Eropa dan negara tuan rumah Olimpiade, menghadapi kemungkinan besar berupa parlemen yang digantung dan kelumpuhan politik.
Karena koalisi sayap tengah berada di urutan kedua, Perdana Menteri Gabriel Attal, berencana mengajukan pengunduran diri pada Senin (8/7).
Dia tahu bahwa pqeq pemerintahan berikutnya dia tidak akan bisa memimpin. Oleh sebab itu Attal akan mundur dan menyelesaikan sisa masa jabatannya hingga Olimpiade Paris.
“Negara kami sedang menghadapi situasi politik yang belum pernah terjadi sebelumnya dan sedang bersiap menyambut dunia dalam beberapa minggu,” ungkap Attal, seperti dimuat
Associated Press.Para pendukung sayap kiri bersorak dan bertepuk tangan ketika proyeksi menunjukkan bahwa aliansi tersebut kemungkinan besar menang dalam pemilu kedua.
Teriakan kegembiraan juga terdengar di alun-alun Republique di timur Paris, dengan orang-orang secara spontan memeluk orang asing dan tepuk tangan tanpa henti selama beberapa menit setelah hasil awal diumumkan.
Marielle Castry, seorang sekretaris medis mengaku lega karena sayap kanan tidak jadi menang.
"Semua orang mempunyai ponsel pintarnya masing-masing dan menunggu hasilnya, lalu semua orang sangat gembira,” ujarnya.
Pemimpin koalisi sayap kiri yang paling terkemuka, Jean-Luc Mélenchon, mengatakan pihaknya siap untuk memerintah.
Koalisi Front Populer Baru tersebut dengan cepat mengesampingkan perbedaan dan bergabung bersama dalam aliansi sayap kiri yang baru.
Mereka berjanji untuk membatalkan banyak reformasi utama Macron, memulai program belanja publik yang sangat mahal dan mengambil tindakan yang jauh lebih keras terhadap Israel karena perang dengan Hamas.
Macron menggambarkan Front Populer Baru sebagai koalisi yang ekstrim dan memperingatkan bahwa program ekonominya yang menghabiskan puluhan miliar euro dapat berdampak buruk bagi Prancis, yang sudah dikritik oleh pengawas Uni Eropa karena utangnya.
Namun, para pemimpin Front Populer Baru segera mendorong Macron untuk memberikan kesempatan pertama kepada aliansi tersebut untuk membentuk pemerintahan dan menunjuk perdana menteri.
Meski sayap kanan National Rally meraih lebih banyak kursi dibanding pemilu sebelumnya, partai anti-imigrasi yang memiliki hubungan historis dengan antisemitisme dan rasisme gagal mencapai harapannya untuk mendapatkan mayoritas absolut.
“Kecewa, kecewa,” kata pendukung sayap kanan Luc Doumont, 66 tahun.
Setelah sayap kanan meraih posisi teratas dalam pemungutan suara putaran pertama minggu lalu, para pesaingnya berusaha menyabotase kemenangan tersebut dengan secara strategis menarik kandidat dari banyak distrik.
Hal ini menyebabkan banyak kandidat sayap kanan bersaing satu sama lain hanya dengan satu lawan, sehingga lebih sulit bagi mereka untuk menang.
Banyak pemilih yang berpikir bahwa menjauhkan kelompok sayap kanan dari kekuasaan adalah hal yang lebih penting, bahkan jika harus mendukung calon-calon yang bukan berasal dari kubu politik yang biasanya mereka dukung.
Namun, pemimpin Partai RN, Le Pen yang diperkirakan akan mencalonkan diri untuk keempat kalinya sebagai presiden Prancis pada tahun 2027 menilai hasil pemilu ini sebagai pijakan.
“Kenyataannya adalah kemenangan kita hanya tertunda,” ujarnya.
Pernyataan dari kantor Macron mengindikasikan bahwa dia tidak akan terburu-buru mengundang calon perdana menteri untuk membentuk pemerintahan.
Dikatakan bahwa dia sedang mengamati hasilnya dan akan menunggu Majelis Nasional yang baru terbentuk sebelum mengambil keputusan yang diperlukan.
Macron segera mempercepat pemilu legislatif setelah sayap kanan menang dalam pemilihan Uni Eropa.
Dia awalnya berharap para pemilih dapat beralih dari sayap kanan dan kiri dan kembali ke partai-partai arus utama yang lebih dekat ke tengah, di mana Macron mendapatkan banyak dukungan yang membuatnya memenangkan kursi kepresidenan pada tahun 2017 dan sekali lagi pada tahun 2022.
Namun alih-alih mendukungnya, jutaan pemilih memanfaatkan keputusan mengejutkan tersebut sebagai kesempatan untuk melampiaskan kemarahan mereka terhadap inflasi, kejahatan, imigrasi, dan keluhan lainnya, termasuk gaya pemerintahan Macron.
BERITA TERKAIT: