Gedung Putih dalam permohonannya pada Rabu (29/3) berharap parlemen dapat membuat langkah tepat untuk mengekang kekerasan senjata, sekaligus mengkritik anggota parlemen yang mengatakan tidak banyak yang dapat dilakukan untuk kekerasan senjata ini.
Amerika Serikat telah mencatat ratusan peristiwa penembakan massal sepanjang tahun 2023, sebuah data yang memprihatinkan.
"Tidak dapat diterima bahwa Partai Republik mengatakan tidak ada yang bisa kami lakukan," kata Juru Bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre kepada wartawan dalam pengarahan Rabu, seperti dikutip dari
Reuters. "Sekolah kami, gereja kami, tempat ibadah kami, sekarang telah menjadi tempat yang mematikan bagi banyak orang Amerika," lanjutnya.
Beberapa waktu lalu, anggota parlemen di Kongres menanyakan tindakan legislatif apa yang dapat membantu mengatasi gelombang kekerasan senjata yang meningkat. Beberapa dari Partai Republik mengatakan hanya sedikit yang dapat mereka lakukan.
Senator Republik AS Mike Rounds mengatakan bahwa sejauh ini mereka telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
"Ketika kita mulai berbicara tentang larangan atau menentang Amandemen Kedua, saya pikir hal-hal yang telah dilakukan telah sejauh yang kita lakukan dengan kontrol senjata," katanya, menambahkan bahwa sekolah membutuhkan lebih banyak dana untuk memperkuat keamanan mereka.
Amandemen Kedua terhadap Konstitusi Amerika Serikat melindungi hak individu untuk memegang dan membawa senjata.
Amandemen ini disahkan pada 15 Desember 1791 sebagai bagian dari Bill of Rights, dengan tujuan untuk pertahanan diri, terutama di dalam rumah.
Sejak penembakan Senin, Gedung Putih telah menyalahkan Partai Republik karena kelambanan dalam pengendalian senjata.
Aksi penembakan massal telah menggegerkan Nashville, ibu kota negara bagian Tennessee, yang dikenal sebagai Kota Musik, pada Senin (27/3).
Penembakan yang terjadi di Covenant School pada siang hari itu menewaskan sedikitnya enam orang. Korban tewas adalah tiga siswa dan tiga staf sekolah. Pelaku, mantan siswa di sekolah tersebut, membawa beberapa senapan saat memasuki sekolah, salah satunya adalah senapan serbu.
Biden pada hari Selasa memperbarui seruannya untuk larangan kepemilikan senjata, terutama "senjata serbu", mengklaim ada "harga moral yang harus dibayar atas kelambanan pencegahan kekerasan senjata.
Anggota parlemen bereaksi atas seruan Biden, mempertanyakan apakah itu berarti akan ada penyitaan senjata. Jean-Pierre menegaskan bahwa yang dimaksud Biden adalah larangan senjata serbu seperti AR15, yang merupakan senjata perang.
"Mereka (senjata serbu) tidak boleh berada di jalan-jalan di seluruh negeri di komunitas kita. Mereka seharusnya tidak berada di sekolah. Mereka seharusnya tidak berada di toko bahan makanan. Mereka seharusnya tidak berada di gereja. Itulah yang diyakini presiden, dan dia telah melakukan lebih dari presiden mana pun dalam dua tahun pertama perintah eksekutif," ujarnya.
BERITA TERKAIT: