Saingi BRI, G7 Luncurkan Program Bantuan untuk Negara Berkembang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 08 Oktober 2022, 11:15 WIB
Saingi BRI, G7 Luncurkan Program Bantuan untuk Negara Berkembang
Ilustrasi/Net
rmol news logo Program Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) yang diinisiasi China dan dipercaya banyak pihak, telah menjadi kedok Beijing untuk menjerumuskan negara-negara berkembang ke dalam jebakan utang.

Untuk membendung hal itu, G7 – yang meliputi Amerika Serikat, Kanada, Italia, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang bersama dengan Uni Eropa (UE) – meluncurkan program infrastruktur sebagai program alternatif bagi negara berkembang, yaitu Inisiatif PGII.

Sama-sama ditujukan untuk negara berkembang, tujuan utama dari inisiatif PGII yang diusung G7 bertujuan untuk menyediakan dana bagi negara-negara yang membutuhkan infrastruktur penting, termasuk jalan, jembatan, pelabuhan serta fasilitas komunikasi.

Terlepas dari tujuan tersebut, PGII juga bertujuan untuk mengatasi perubahan iklim, perbaikan kesehatan global, membantu membangun infrastruktur digital, dan tidak lupa untuk mencapai kesetaraan gender.

G7 telah menjanjikan 600 miliar dolar AS pada tahun 2027 di bawah PGII, tetapi jumlah aktual yang tersedia bisa lebih banyak, karena di bawah PGII, modal swasta yang besar juga dapat dimobilisasi.

Tidak seperti proyek-proyek China yang diganggu oleh biaya rendah, standar yang longgar, dan jadwal yang tergesa-gesa, inisiatif PGII dikatakan dapat menjadi kemenangan besar bagi kesejahteraan global dan pembangunan berkelanjutan, dengan penekanannya pada infrastruktur manusia sebagai inti dari ambisi pembangunan global.

Tidak mengherankan bahwa China telah mengkritik PGII sebagai berniat buruk dan tidak layak. Menurut China Daily, Beijing percaya bahwa PGII diluncurkan untuk bersaing dengan China.

Beijing sendiri skeptis mengenai hasil PGII dan menegaskan bahwa negara-negara lain termasuk G7 harus bergabung dengan BRI China.

PGII merupakan indikasi bahwa investasi China, setelah serangkaian kesepakatan dalam beberapa tahun terakhir di seluruh dunia, kini menerima penolakan dari banyak negara.

Pengalaman ekonomi Asia Selatan seperti Sri Lanka, Pakistan, dan Nepal telah menunjukkan bahwa investasi ini mungkin tampak menarik dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, mereka menyebabkan gangguan.

Lewat tulisannya di Portal Plus, sebuah publikasi Slovenia, analis Valerio Fabbri mengatakan bahwa berbagai publikasi media telah menyoroti contoh kekecewaan pada BRI dan banyak negara penerima investasi China telah menyesali diplomasi perangkap utang China sebagai hasil dari BRI.

Dan, kata Fabbri, negara-negara yang menjadi korban biasanya adalah negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Sri Lanka dan Pakistan.

"Contoh Sri Lanka dan Pakistan telah menunjukkan bagaimana BRI telah mempengaruhi perekonomian negara," tulis Fabbri.

Sri Lanka mengambil pinjaman besar selama pemilihan 2015 dan kemudian untuk pembangunan Pelabuhan Hambantota, Kolombo juga meminta bantuan China. Setelah negosiasi pada aspek pertahanan, memastikan bahwa militer China bisa mendapatkan akses ke pelabuhan, Beijing datang untuk memberi bantuan.

Sementara itu, di Pakistan, untuk memastikan keamanan Koridor Ekonomi Pakistan (CPEC) andalan China, pemerintah China melewati Islamabad untuk menjangkau separatis Baloch. Namun, Beijing kurang antusias dalam memastikan stabilitas ekonomi Pakistan.

"Mengambil bantuan Beijing untuk pembangunan infrastruktur telah terbukti menjadi pilihan yang salah baik untuk Kolombo maupun Islamabad, membuat kedua negara sangat terperangkap di bawah beban utang China," kata Fabbri.

Situasi di Sri Lanka menjadi lebih buruk. Negara ini gagal mengimpor bahkan komoditas penting seperti makanan dan bahan bakar kepada rakyatnya. Bahkan, Sri Lanka mengumumkan kebangkrutan, berujung pada pengunduran diri Presiden dan Perdana Menteri dan bahkan terpaksa meninggalkan negara itu.

"Pinjaman BRI diselimuti persyaratan yang tidak jelas. Beijing sering mengganggu pemerintahan internal di negara-negara penerima, ada contoh seperti itu lagi di Sri Lanka dan Pakistan," kata penulis.

Proyek-proyek BRI juga dikatakan sangat eksploitatif.

Sebagai contoh, proyek yang sedang berlangsung untuk pembangunan pelabuhan di Peru, Terminal Pelabuhan Serbaguna Chancay, siap untuk menghancurkan flora dan fauna lokal, mengeluarkan polutan beracun yang substansial, dan menggusur masyarakat lokal. rmol news logo article

EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA