Dalam forum yang diselenggarakan secara virtual pada Kamis dan Jumat tanggal 9-10 Desember kemarin, Amerika Serikat mengundang para pemimpin dan pejabat tinggi dari sekitar 100 negara di dunia serta organisasi internasional untuk membahas soal demokrasi dan tantangan yang dihadapi.
Namun China dan Rusia tidak termasuk dalam salah satu negara yang diundang oleh Amerika Serikat dalam forum tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Luar Negeri China mengeluarkan pernyataan yang menilai bahwa Amerika Serikat menyembunyikan upayanya untuk mempertahankan “hegemoni global†di balik istilah “demokrasi.â€
“Apakah suatu negara demokratis atau tidak, harus diputuskan oleh rakyatnya sendiri, bukan oleh segelintir orang luar yang menuding jari,†begitu bunyi keterangan tersebut.
“Sistem demokrasi suatu negara dan jalannya menuju demokrasi harus dipilih secara independen oleh rakyatnya sendiri sesuai dengan realitas nasional mereka," sambung pernyataan yang sama.
Pernyataan tersebut juga memojokan Amerika Serikat karena mencoba membawa demokrasi dengan todongan senjata ke Afghanistan, Irak, Libya, dan Suriah.
Amerika Serikat juga dinilai telah menggunakan sanksi dan ancaman “revolusi warna†untuk memaksa negara-negara lain menerima versi demokrasinya.
“Revolusi warna†adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan upaya, yang dipimpin oleh kelompok masyarakat sipil dan LSM yang didanai dengan baik, untuk menggulingkan pemerintah.
Amerika Serikat diketahui mendukung banyak "revolusi warna" asing, baik secara diam-diam atau terang-terangan. Termasuk gerakan protes tahun 2000 yang menggulingkan pemimpin Serbia Slobodan Milosevic dari kekuasaan, Revolusi Mawar di Georgia pada tahun 2003, dan Revolusi Oranye 2004 di Ukraina.
Pernyataan Beijing itu juga menuduh Amerika Serikat menggunakan demokrasi sebagai “senjata pemusnah massal.â€
“Kita harus dengan tegas menolak dan menentang segala bentuk praktik pseudo-demokrasi dan anti-demokrasi dan manipulasi politik di bawah kedok demokrasi, pernyataan itu menyimpulkan, sebagaimana dimuat
Russia Today.
BERITA TERKAIT: