Hal itu dikabarkan oleh media yang dikelola oleh pemerintah Myanmar, yakni
Global New Light of Myanmar yang dirilis pada Jumat (6/8), sebagaimana dimuat ulang
Reuters.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer mengambil alih kekuasaan dari tangan pemerintah sipil pimpinan Aung San Suu Kyi yang dipilih secara demokratis pada awal Februari lalu. Hal tersebut memicu gelombang protes dan gerakan pembangkangan sipil yang melumpuhkan sebagian negara bagian.
Menurut sebuah kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sejak kudeta, pasukan keamanan telah menangkap lebih dari 7.000 orang dan 1.984 surat perintah dikeluarkan.
Setelah setengah tahun berlalu, pemerintah Myanmar yang dikuasai militer kini menawarkan amnesti kepada sejumlah orang yang ikut ambil bagian dalam gelombang protes dan telah didakwa namun masih bersembunyi. Namun syaratnya, mereka harus melapor ke pihak keamanan.
Akan tetapi, amnesti itu tidak berlaku bagi mereka yang sedang dicari karena kasus kriminal berat seperti pembunuhan, pembakaran atau serangan terhadap tentara.
"Oleh karena itu, mereka yang ingin kembali ke rumah atas kemauan mereka sendiri dapat dengan aman menghubungi nomor telepon berikut atau kantor polisi terdekat, badan administrasi kabupaten dan kota," begitu kutipan laporan tersebut.
Meski tampak seperti angin segar, namun pengumuman amnesti itu justru ditanggapi skeptis oleh sejumlah pihak.
"Ini mungkin sebuah pengaturan," kata Khin Myat Myat Naing, seorang blogger dan influencer perjalanan berusia 35 tahun dari tempat persembunyiannya.
Dia telah didakwa karena dianggap membuat komentar yang dapat menyebabkan ketakutan atau menyebarkan berita palsu. Dengan dakwaan itu, dia terancam hukuman hingga tiga tahun penjara.
"Mereka (pemerintah militer Myanmar) terus mengubah apa yang mereka katakan sepanjang waktu. Misalnya, janji pemilihan mereka," tambahnya.
Hal senada juga dilontarkan oleh Sai Tun, seorang wartawan lepas, yang bersembunyi dan menghadapi dakwaan karena mengambil foto saat protes. Dia pun berencana tidak akan melapor atau menyerahkan diri.
"Selama tentara ada di sana, kami akan menjadi buronan," kata Sai Tun, yang pernah ditembak di kaki saat gelombang protes terjadi.
BERITA TERKAIT: