Dalam pernyataannya yang dirilis pada Rabu (3/2) waktu setempat, kelompok itu mengatakan bahwa tentara telah menempatkan kepentingannya sendiri di atas populasi rentan yang menghadapi kesulitan selama pandemi virus corona, yang telah menewaskan lebih dari 3.100 orang di Myanmar, salah satu negara dengan korban tertinggi di Asia Tenggara.
“Kami menolak untuk mematuhi perintah apa pun dari rezim militer tidak sah yang menunjukkan bahwa mereka tidak menghormati pasien kami yang malang,†kata sebuah pernyataan dari kelompok tersebut, seperti dikutip dari
Reuters, Rabu (3/2).
Empat dokter yang tidak ingin disebutkan namanya mengkonfirmasi bahwa mereka menjadi salah satu yang memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai bentuk protes.
“Saya ingin tentara kembali ke asrama mereka dan itulah mengapa kami para dokter tidak pergi ke rumah sakit,†kata seorang dokter berusia 29 tahun di Yangon kepada Reuters.
“Saya tidak memiliki kerangka waktu berapa lama saya akan terus melakukan pemogokan ini. Itu tergantung situasinya,†lanjutnya.
Kelompok pelajar dan pemuda juga bergabung dalam kampanye pembangkangan sipil.
Tentara merebut kekuasaan yang dikendalikaan sipil di bawah pemerintahan Suu Kyi pada Senin (1/2) dini hari waktu setempat. Mereka menahan penerima Nobel Perdamaian 1991 itu bersama Presiden Win Myint dan sejumlah petinggi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: