Bayang-bayang Trauma Kerap Menghantui Anak-anak dan Kaum Wanita Yazidi Yang Diperbudak ISIS

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Kamis, 30 Juli 2020, 15:29 WIB
Bayang-bayang Trauma Kerap Menghantui Anak-anak dan Kaum Wanita Yazidi Yang Diperbudak ISIS
Kaum Yazidi alami trauma setelah diperbudak ISIS/Net
rmol news logo Laporan terbaru Amnesty International menyebut ada sekitar 2.000 anak-anak Yazidi yang masih terjebak oleh trauma psikologis dan fisik meskipun kini mereka telah terbebas dari cengkeraman kelompok pemberontak Negara Islam.

Laporan itu diperoleh setelah Amnesty Internasional melakukan lusinan wawancara di Irak utara, kelompok hak asasi tersebut menemukan bahwa 1.992 anak-anak yang menghadapi penyiksaan, wajib militer, pemerkosaan dan pelanggaran lainnya di tangan ISIS, mereka juga tidak mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan.

“Sementara mimpi buruk masa lalu mereka telah surut, kesulitan tetap ada untuk anak-anak ini,” kata Matt Wells, wakil direktur tim respons krisis Amnesty, seperti dikutip dari AFP, Kamis (30/7).

Yazidi adalah kelompok etnoreligius dan berbahasa Kurdi yang mempraktikkan agama sinkretisme, menggabungkan Syiah dan Sufi Islam dengan tradisi adat rakyat daerah. Etnis agama minoritas ini berjumlah sekitar 550 ribu di barat laut Irak sebelum akhirnya kelompok ISIS menyapu wilayah itu pada 2014.

ISIS memaksa orang-orang Yazidi menjadi pengikut mereka, membantai ribuan pria, menculik wanita dan gadis serta memaksa anak laki-laki untuk bertarung atas nama kelompok ISIS.

Anak-anak Yazidi dipaksa masuk Islam dan mengajari mereka bahasa Arab, serta melarang anak-anak itu untuk berbicara bahasa Kurdi yang menjadi bahasa asli kaum Yazidi.

Sampai hari ini, anak-anak yang selamat itu menderita cedera jangka panjang yang melemahkan, serta gangguan stres pasca-trauma, perubahan suasana hati, agresi dan kilas balik.

Anak-anak Yazidi yang diwawancarai oleh AFP tahun lalu di sebuah kamp pengungsian di distrik barat laut Duhok bermain secara agresif, mengenakan pakaian serba hitam dan berbicara bahasa Arab satu sama lain, bahkan beberapa bulan setelah mereka dibebaskan dari ISIS.

Salah satu dari mereka, seorang gadis berusia sepuluh tahun, telah mengancam akan bunuh diri beberapa kali, kata ibunya kepada AFP.

Seorang anak lain bernama Sahir, mantan tentara anak ISIS berusia 15 tahun, mengatakan kepada Amnesty bahwa dia tahu dia membutuhkan dukungan mental untuk mengatasi trauma, tetapi dia merasa tidak punya tempat untuk berpaling.

“Apa yang saya cari hanyalah seseorang yang peduli pada saya, beberapa dukungan, yang mengatakan: 'Aku di sini untukmu',” katanya.

“Ini yang aku cari, dan aku belum pernah menemukannya.”

Amnesty mengatakan akses ke pendidikan dapat membantu memudahkan anak-anak kembali ke masyarakat, tetapi puluhan ribu orang Yazidi masih tinggal di kamp-kamp pengungsian di mana sekolah tidak teratur.

Banyak diantara mereka  juga yang telah terbelit utang ribuan dolar AS kepada penyelundup untuk membantu membebaskan kerabatnya yang ditahan ISIS.

Para ibu Yazidi yang secara paksa menikah dengan pejuang ISIS kini berjuang untuk menyembuhkan luka psikologis, dan harus berurusan dengan stigma memiliki anak yang lahir dari ayah seorang  jihadis.

“Saya ingin memberi tahu (komunitas kami) dan semua orang di dunia, tolong terima kami, dan terima anak-anak kami. Saya tidak ingin punya bayi dari orang-orang ini. Saya dipaksa untuk memiliki seorang putra,” kata Janan, seorang wanita yang kini memiliki anak berumur setahun.

Banyak wanita Yazidi yang diselamatkan dari benteng ISIS terakhir di Suriah selama dua tahun terakhir terpaksa meninggalkan anak-anak mereka yang lahir saat mereka masih menjadi istri anggota kelompok ISIS ketika kembali ke keluarga mereka di negara tetangga Irak.

“Kami semua berpikir untuk bunuh diri, atau mencoba melakukannya,” kata Hanan, seorang Yazidi yang putrinya telah direnggut dari pangkuannya.

Para ibu harus dipersatukan kembali dengan anak-anak mereka dan tidak ada pemisahan lebih lanjut yang harus dilakukan, kata Amnesty.

“Para wanita ini diperbudak, disiksa dan menjadi sasaran kekerasan seksual. Mereka seharusnya tidak menderita hukuman lebih lanjut,” kata Wells. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA