Sejak tahun lalu, ketika Amerika menyatakan secara sepihak keluar dari kesepakatan nuklirnya dengan Iran, narasi permusuhan terus digaungkan. Padahal kesepakatan yang dikenal dengan
Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) ini, tidak hanya ditandatangani oleh Amerika dan Iran, akan tetapi juga melibatkan Inggris, Perancis, Rusia, China, plus Jerman, yang disebut P6+1.
Langkah permusuhan berikutnya dilakukan dengan cara, Washington memasukkan Pasukan Pengawal Revolusi Iran (Pasdaran) ke dalam daftar teroris. Padahal Pasdaran merupakan bagian dari tentara resmi Iran. Dan yang paling mutakhir, Amerika berusaha menghentikan ekspor minyak Iran dengan cara memaksa negara-negara importirnya untuk menghentikan membeli minyak Iran, diiringi ancaman berbagai bentuk sanksi dari Amerika, jika tidak mau mematuhinya. Padahal 64 persen devisa Iran berasal dari minyak.
Ancaman Amerika untuk memerangi Iran semakin nyata, setelah gugus serbu kapal induk USS Abraham Lincoln digerakkan mendekati pantai Iran.
Penasehat Keamanan Nasional AS John Bolton menyatakan bahwa tujuan dari pergerakan gugus serbu tersebut, untuk merespon kemungkinan Iran menyerang atau mengganggu kepentingan Amerika di Timur Tengah. Suatu alasan yang tidak jelas dan terasa mengada-ada.
Bob Dreyfuss dalam tulisannya: _Trump and Bolton Are Putting War With Iran on a Hair Trigger_, membandingkan antara Trump dan Bush menjelang perang Irak yang berujung pada penggulingan Saddam. Trump mengangkat dua orang penasehat keamanan Nasionalnya dari kelompok
ultra-hawkish: John Bolton dan Mike Pompeo. Mirip dengan Bush mengangkat Dick Cheney dan Donald Rumsfeld yang keduanya juga dari kelompok
ultra howkish.
Dua orang inilah yang menurut Bob sebagai otak perang illegal yang dilakukan Amerika saat itu, karena alasan yang bersumber dari informasi intelijen yang digunakannya ternyata tidak valid.
Menlu Iran Mohammad Javad Zarif menuduh, bahwa tujuan sebenarnya semua tindakan Amerika adalah untuk mengganti regim yang berkuasa di Iran. Zarif menyebut adanya Tim B yang terdiri dari John Bolton mewakili Amerika, Benyamin Netanyahu dari Israel, Muhammad bin Salman dari Saudi Arabia, dan Muhammad bin Zayed dari UEA. Tim inilah yang bekerja dan mendorong Presiden Trump untuk melakukan petualangan berbahaya ini.
Sejauh mana kebenaran tuduhan yang dolontarkan Zarif ? Bagi Israel, Iran kini menjadi ancaman nyata bagi keberadaan negara Zionis ini. Bayangkan pada tahun 2006, Israel kalah melawan Hizbullah. Padahal saat itu Hizbullah masih kecil dan baru pertama kali menghadapi medan tempur.
Saat ini kekuatan Hizbullah berlipat ganda, baik dari jumlah personal maupun perlengkapan tempur, setelah terlibat perang di Suriah dan bahu-membahu dengan tentara Iran dan Rusia dalam membela regim Basyar Al Assad.
Lebih dari itu, kini Hizbullah memiliki anggota parlemen dan ikut dalam koalisi pemerintahan di Lebanon. Karena itu, bagi Israel mengalahkan pasukan Hizbullah yang kini mengepungnya dari Suriah dan Lebanon, harus dengan cara menghancurkan induk semangnya Iran, dengan meminjam tangan Amerika.
Sementara bagi Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab, usahanya untuk mengalahkan Houti yang didukung Iran di Yaman ternyata gagal, sampai sekarang pasukan Houthi masih menguasai Ibukota San'a.
Upaya kedua negara ini untuk mengisolasi Qatar juga gagal, salah satu penyebabnya adalah karena Qatar dibantu oleh Iran. Jadi Iran menjadi
common enemy atau musuh bersama bagi Israel, Saudi Arabia, dan UAE. Sementara Amerika sebenarnya hanya diperalat. Jika dibandingkan dengan Irak yang dengan mudah dihancurkan Amerika, kekuatan Iran baik dari sisi militer maupun ekonominya saat ini jauh lebih besar.
Walaupun akhirnya Amerika berhasil mengganti regim Saddam, ternyata Amerika gagal membentuk pemerintahan boneka di Bagdad. Karena yang berkuasa, selalu pro ke Teheran, dan menjaga jarak dengan Washington. Padahal korban material, pasukan Amerika yang tewas, luka-luka, dan sakit mental jumlahnya mencapai puluhan ribu.
Akankah Amerika akan terjerembab ke lubang yang sama untuk kedua kalinya?
Wallahua'lam
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi
BERITA TERKAIT: