Diketahui bahwa sejak mengumumkan rancangan perjanjian pemutusan keanggotaan dengan Uni Eropa pada hari Rabu pekan kemarin (14/11), May didorong ke dalam krisis karena pengunduran diri beberapa menteri di jajarannya. Termasuk di antara mereka yang mengundurkan diri adalah menteri yang menangani proses Brexit, atau hengkangnya Inggris dari Uni Eropa.
Menyusul hal tersebut, beberapa anggota parlemen di Inggris mendorong pengunduran diri May atau penggulingannya.
Untuk diketahui bahwa lebih dari dua tahun setelah Inggris menggelar referendum Brexit untuk hengkang dari keanggotaan Uni Eropa, masih belum jelas bagaimana proses Brexit akan dilakukan menjelang jadwal yang direncanakan pada 29 Maret 2019 mendatang.
May telah berjanji untuk terus berjuang melakukan yang terbaik dalam proses Brexit. Upaya terbaru yang dilakukannya adalah dengan membuat rancangan perjanjian perceraian dengan Uni Eropa pekan kemarin.
Namun baik anggota parlemen pro-Uni Eropa maupun anggita parlemen pro-Brexit di Inggris tidak senang dengan rancangan perjanjian versi May itu. Hal tersebut mengecilkan kemungkinan May mendapatkan dukungan parlemen untuk rancangan itu. Hal itu juga meningkatkan resiko Inggris meninggalkan Uni Eropa tanpa rancangan matang.
Atas dasar itulah muncul dorongan agar May mengundurkan diri dari kursi Perdana Menteri Inggris.
"Tujuh hari ke depan ini akan menjadi penting, mereka adalah tentang masa depan negara ini," kata May kepada
Sky News akhir pekan kemarin (Minggu, 18/11).
"Saya tidak akan teralihkan dari pekerjaan penting," sambungnya.
Lebih lanjut dia menegaskan bahwa pergantian kepemimpinan bukanlah solusi terbaik untuk situasi saat ini.
“Perubahan kepemimpinan pada saat ini tidak akan membuat negosiasi lebih mudah. Apa yang akan dilakukannya adalah bahwa ada resiko dan hanya menunda negosiasi. Dan itu adalah resiko yang bisa menyebabkan Brexit tertunda atau frustrasi," tegasnya seperti dikutip ulang
Reuters.
[jto]
BERITA TERKAIT: