SEPEKAN DI NEGERI MULLAH (1)

Politiknya Tak Sedingin Suhunya

Kamis, 01 Februari 2018, 13:55 WIB
Politiknya Tak Sedingin Suhunya
Kesibuan pusat kota Teheran, Iran/RM
rmol news logo Iran sedang masuki musim dingin. Suhunya 0-14 derajat celcius. Tak sedingin udaranya, politik di negeri berpenduduk 80 juta jiwa itu, sempat membara. Sedingin apa rasanya dan sepanas apa politiknya? Wartawan Rakyat Merdeka, Mellani Eka Mahayana bersama lima wartawan lain Tanah Air berkesempatan mengikuti press tour selama sepekan (19-25 Januari) di Ibukota Iran, Teheran. Berikut liputannya:

Jumat pagi (19/1), kami menginjakkan kaki di Teheran. Di hari itu, suasananya begitu ramai. Warga sedang menikmati liburan. Maklmum, di Iran, hari libur kerja itu jatuh pada hari Kamis dan Jum’at. Bukan Sabtu atau Minggu seperti di sini.

Selain libur kerja, Jum’at menjadi spesial lagi bagi rakyat Iran. Mereka biasanya melakukan ziarah ke makam. Makam yang paling ramai dikunjungi letaknya dekat pemakaman Imam Khomeini di Behesht-e Zahra. Inilah makam yang tak pernah sepi dikunjungi para peziarah pada hari Jumat itu. Karena, memang hanya ada satu TPU (Tempat Pemakaman Umum) di Teheran, ya di tempat itu.

Menyaksikan rakyat Iran yang begitu riang, tenang dan nyaman saat mengisi hari liburnya, langsung menghapus pikiran negatif kami sebelum pesawat yang kami tumpangi mendarat di Imam Khomeini International Airport (IKIA) di selatan Kota Teheran.  

Begitu kami take off dari Soekarno Hatta, berada di udara hampir 10 jam plus transit selama 3 jam, di pikiran kami, Iran saat ini sedang hot-hotnya. Ada tiga hal yang membuat kami berpikir seperti itu. Pertama, sebulan sebelum kami tiba, rakyat Iran turun ke jalan memprotes kebijakan ekonomi yang kemudian muncul desakan turunnya Presiden Hassan Rouhani. Demo ini beradarah-darah. 25 orang tewas, 3.700 orang ditangkapin. Kedua, media massa Iran sedang gencar-gencarnya menggambarkan seramnya benturan Sunni dan Syiah ditambah konflik di kawasan Timur Tengah yang tak berkesudahan. Terakhir, Iran sedang susah payah keluar dari berbagai sanksi ekonomi dan politik yang diterimanya akibat program nuklir.

Tapi, pikiran-pikiran negatif kami terkait kondisi Iran itu buyar begitu melihat fakta sebenarnya. Tak ada dar-der-dor senapan atau ledakan bom. Tak nampak pula Iran sedang morat-marit meski sedang menanggung beratnya sanksi. Arsitektur bandara seperti kapsul ruang angkasa serta modernnya suasana di dalam bandara IKIA seperti ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Iran kuat secara ekonomi, budaya dan politik. Poster besar Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei dan pendahulunya, pemimpin revolusi Iran Ayatollah Khomeini yang menyambut sejak dari bandara sampai ke tengah-tengah kota seperti menandakan Iran bukan negara 'cemen' yang gampang dilumpuhkan.

Tiba Kedutaan Besar Republik Indonesia, kami disambut Duta Besar Octavino Alimudin beserta Pejabat Penerangan Sosial Budaya Tetty Tety Mudrika Hayati Pensosbud dan tim antara lain: Adella Virosa dan Yanti, serta bagian protokoler Deddy Eka Januardi dan Atase Pertahanan Kolonel Ari Hendrawan. Hadir juga Ahli Indonesia Islamic Culture and Relation Organization (ICRO) Kementerian Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran, Amir Rahimi.

Selang beberapa menit berbincang dengan tim KBRI, waktu shalat Jumat tiba. Di sini, cerita Sunni dan Syiah yang selama ini “heboh” di Iran, mulai ada ceritanya. Di Iran, ada “beda” tempat salat Jumat kelompok Sunni dan Syiah. Bagi kelompok Syiah, salat Jumat dipusatkan di satu tempat, Grand Mosalla atau Musholla Besar. Kalau di Jakarta, Masjid Istiqlal. Yang khotbah dan imam pun tak bisa sembarangan. Mereka ditunjuk Pemimpin Tertinggi (Supreme Leader atau Rahbar) yang sekarang dijabat Ayatollah Ali Khamenei.

Di kota-kota lain juga begitu, imam maupun yang khotbah adalah wakil Rahbar. Makanya hanya ada satu tempat bagi pelaksanaan jumatan. Nah, itu bagi yang Syiah. Kalau Sunni, Rahbar tidak ikut campur. Mereka lakukan ibadah sesuai dengan keyakinan kepercayaan masing-masing. KBRI sendiri menggelar shalat Jumat “versi” Sunni. Jamaahnya kebanyakan para diplomat dari kedutaan Timur Tengah. Penceramahnya, Nasrullah atau biasa disapa Asep. Dia mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas Al-Mustofa, Jurusan Fiqhu Usul. Sudah empat tahun dia di sana. Asep tinggal di Kota Gorgon, sekitar enam jam perjalanan dari Teheran naik bus.

Selesai Jumatan, kami berbicang-bincang dengan Dubes Octavino mengenai aksi demonstrasi rakyat Iran yang santer diberitakan media. Pak Dubes memastikan, demo di Iran biasa, sama seperti di Indonesia, jadi tak perlu dikhawatirkan. “Yang demo-demo, yang dagang-dagang,” katanya melukiskan. Bersambung

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA