Pemerintah Republik Rakyat Demokratik Korea atau Korea Utara dilaporkan menembakkan rudal balistik melewati Pulau Hokaido, Jepang, yang akhirnya jatuh di Samudera Pasifik, Selasa (29/8).
Peluncuran diduga dilakukan dari sebuah lokasi di dekat ibu kota negara sosialis itu, Pyongyang, pukul 06.00 waktu setempat. Rudal itu disebut pecah menjadi tiga bagian dan jatuh di sisi timur laut Hokkaido di Samudera Pasifik.
Tak mengejutkan jika Korut kembali meluncurkan rudalnya. Rudal itu diluncurkan hampir dua pekan pekan setelah pertemuan yang dipimpin Ketua Solidaritas Korea dengan Rakyat Dunia, Kim Jong Suk, dan dihadiri delegasi dari puluhan negara.
Dalam pertemuan itu dibacakan sebuah seruan yang mengecam tindakan Amerika Serikat dan sekutunya mengisolasi Korea Utara dan menempatkan sistem persenjataan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Semenanjung Korea.
AS menambah parah situasi dengan melanjutkan rencananya menggelar kembali latihan militer bersama Korea Selatan pada Senin (21/8) di tengah ketegangan Semenanjung Korea yang terus meningkat.
Tindakan sepihak AS dan sekutunya tidak pernah mendapat porsi sorotan yang adil dari masyarakat dan media internasional terutama dunia Barat. Yang terjadi malah rentetan sanksi dalam sepuluh tahun terakhir, sejak 2006, yang dijatuhkan oleh PBB. Di 2017, setidaknya ada tujuh sanksi yang dijatuhkan PBB untuk Korea Utara. Semua sanksi terkait dengan uji coba persenjataan.
Bukan melemah, tekanan dari Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jepang, bahkan Uni Eropa, malah seakan "memancing" Korea Utara untuk lebih memperlihatkan kemampuan militer mereka.
Fakta ini sejalan dengan pernyataan Dutabesar Korea Utara untuk RI, An Kwang Il, pada bulan Juni lalu ketika ia berkunjung ke kediaman pendiri Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea, Rachmawati Soekarnoputri.
“Mereka kira dengan menjatuhkan berbagai sanksi kami akan lemah. Justru sebaliknya, sanksi-sanksi itu lah yang membuat kami semakin kuat,†ujar Dubes An.
Selain itu, Korea Utara berkali-kali menyerukan bahwa pepecahan di Semenanjung Korea adalah produk Perang Dingin (Barat Vs Uni Soviet) yang diperburuk oleh intervensi kekuatan asing.
Termasuk disuarakan dalam Pertemuan Solidaritas dengan Rakyat Korea di Istana Kebudayaan Rakyat, Pyongyang, Rabu (16/8).
"AS yang bertanggung jawab langsung atas perpecahan di Korea, menjawab tawaran yang disampaikan RRDK untuk menggantikan perjanjian gencatan senjata dengan perjanjian damai, dengan latihan militer yang melibatkan kekuatan persenjataan dalam ukuran besar," begitu antara lain tertulis dalam surat itu.
Sukar untuk berharap masyarakat dunia mengubah paradigmanya, dan menyadari bahwa uji coba persenjataan dan peluncuran rudal Korea Utara adalah ekspresi membela harga diri dan martabat mereka sebagai bangsa yang dipecah belah dan dikepung sistem persenjataan asing di kawasan mereka sendiri.
Perlu diketahui juga, di bawah Kom Jong Un, Korea Utara tidak hanya memberikan tekanan pada pembangunan sektor militer dan pertahanan sebagai respons terhadap agresivitas internasional tetapi juga diimbangi dengan pembangunan ekonomi, atau dinamakan kebijakan byungjin.
Pemahaman yang lebih jernih mengenai persoalan ini didapatkan oleh diri saya sendiri ketika berkunjung ke Pyongyang sepanjang 13-18 Agustus lalu.
Melihat Pyongyang dari dekat dan berdialog langsung dengan warga Korea Utara tanpa tendensi negatif memang membutuhkan upaya tak mudah. Namun, setidaknya akan melahirkan paradigma yang lebih adil dan komprehensif dalam menilai konflik Semenanjung Korea dan menanggapi langkah militer Korea Utara.
Di sana, saya yang mendampingi Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea, Teguh Santosa, sempat mengabadikan dalam kamera maupun ingatan saya betapa bersahaja dan wajarnya warga Pyongyang menjalani hari-hari mereka di tengah tekanan militer maupun ekonomi dari AS serta sekutunya dan PBB. Kota itu dikelola dengan apik dengan melibatkan partisipasi warganya secara langsung.
Dan dari pembicaraan ringan dengan beberapa warga Korea Utara yang saya temui sejak di kereta dari Beijing dan di Pyongyang, saya mendapat benang merah bahwa sanksi PBB tidak berpengaruh banyak pada rakyat di negeri itu.
Sejak lama, Korea Utara selalu ditekan embargo dan diancam oleh sistem senjata yang ditempatkan AS di kawasan. Pada akhirnya Korea Utara pun merasa berhak melakukan apa yang mereka anggap "serangan preemtif".
[ald]
BERITA TERKAIT: