Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Tengah Auman yang Merobek Langit China Kita Menunggu Mimpi Dirgantara dengan Teknologi Sabar

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Rabu, 02 November 2016, 11:58 WIB
Di Tengah Auman yang Merobek Langit China Kita Menunggu Mimpi Dirgantara dengan Teknologi Sabar
AUMAN dua jet tempur Chengdu J-20 milik Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Republik Rakyat China (RRC) merobek-robek langit Zhuhai, kawasan di selatan Republik Rakyat China (RRC). Kedua J-20 meliuk-liuk di angkasa dengan indah.

Ribuan penonton yang memadati China International Aviation & Aerospace Exhibition, sekitar 56 kilometer sebelah barat Hong Kong, takjub dan terkesima. Berbagai laporan menyebutkan, kehebatan Tim Aerobatik Bayi milik Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) RRC membuat kedua J-20 tampak semakin perkasa di angkasa.

Kemarin (1/11) adalah penampilan pertama J-20 di depan publik internasional. Pesawat dengan kemampuan susup-siluman, menghindari radar lawan dan berdaya jelajah jauh itu diterbangkan pertama kali lima tahun lalu secara tertutup dan rahasia.

Sebetulnya J-20 pun sempat dipamerkan pada bulan November 2014 di tempat yang sama. Tetapi kala itu, publik internasional lebih memperhatikan Shenyang J-31.

Baik J-20 dan J-31 adalah produksi Chengdu Aircraft Industries Group yang dimiliki Aviation Industry Corporation of China (AVIC).

Secara umum spesifikasi kedua jenis pesawat ini sama. Badan J-20 lebih besar dibandingkan J-31 dan memiliki kemampuan-kemampuan lain yang masih belum disebutkan.

Media Amerika Serikat, seperti CNN mengatakan, J-20 tampaknya adalah jawaban yang diberikan China untuk menyambut kehadiran dua jenis jet tempur F-22 Raptor dan F-35 Lightning II buatan buatan Lockheed Martin yang akan memperkuat pangkalan militer Iwakuni di Pasifik, hanya sepelemparan batu dari Laut China Timur, pada awal tahun depan.

Pasukan Bela Diri Jepang telah memesan sejumlah F-35 dan bulan September yang lalu, beberapa unit pesawat itu sudah selesai diproduksi dan tinggal menunggu pengerahan ke pusat ketegangan. Bersama dengan pemaknaan baru atas Pasal 9 Konstitusi Jepang, tentu armada F-22 dan F-35 patut menjadi faktor yang harus diperhitungkan China.

Seminggu sebelum penampilan J-20 itu, Jurubicara Angkatan Udara TPR Kolonel Senior Shen Jinke memastikan bahwa jet tempur yang akan mereka perlihatkan "dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pertempuran di masa depan".

Kemampuan pesawat-pesawat tempur China, katanya lagi, akan terus dikembangkan agar Angkatan Udara TPR dapat menjalankan "misi suci menjaga kedaulatan nasional, keamanan dan integritas teritori."

China mengklaim, pesawat tempur buatan mereka J-20 dan J-31 juga mengadopsi teknologi generasi 5.0 seperti yang dimiliki F-22 dan F-35.

Bagi Amerika Serikat J-20 dan cerita tentang ambisi dirgantara China bukan barang baru. Tampaknya, serapat apapun China menutupi proyek dirgantara mereka, Amerika Serikat selalu punya cara untuk mengintipnya.

Bulan Agustus lalu, seperti saya baca dari CNN pagi ini, petinggi Angkatan Udara AS sudah memberikan kometar tentang J-20. Komentarnya datar saja. Tak ada nada yang memperlihatkan bahwa mereka menganggap J-20 dan teknologi dirgantara yang dimiliki China sebagai ancaman atau setidaknya saingan yang mengkhawatirkan.

"Tidak relevan membandingkan F-35 dan J-20," kata Kepala Staf Angkatan Udara AS Jenderal David Goldfein.

Bagaimana pun juga teknologi dirgantara yang digunakan Amerika Serikat lebih unggul dan terintegrasi dengan sistem persenjataan lain yang dimiliki Amerika Serikat.

Adapun teknologi yang digunakan J-20 sudah kuno dan ketinggalan; disamakannya dengan teknologi yang digunakan AS untuk pesawat-pesawat tempur F-117A yang diterbangkan pertama kali di era 1980an.

Asal tahu saja, di Amerika Serikat, teknologi itu sudah ditinggalkan.

Sampai disini saya teringat pada kunjungan kami, delegasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke Korea Selatan, dua pekan lalu. Ini adalah kunjungan persahabatan atas undangan Asosiasi Jurnalis Korea (JAK).

Delegasi PWI terdiri dari 10 ketua PWI di daerah dan tiga pengurus PWI Pusat.

Sepuluh ketua PWI daerah itu adalah Firdaus Z. Dahlan (Banten), Tarmilin Usman (Aceh), Amir Machmud (Jawa Tengah), Basril Basyar (Sumatera Barat), Mursyid Yusmar (Jambi), IGM Bang Dwikora (Bali), Mirza Z. Nachli (Jawa Barat), Endo S. Effendi (Kalimantan Timur), Ramon Damora (Kepulauan Riau) dan Zacky Antoni (Bengkulu).

Adapun tiga pengurus PWI Pusat, selain saya, adalah Ketua bidang Daerah Atal S. Depari yang menjadi pimpinan rombongan dan Direktur Isu Publik Agus Sudibyo.

Selama di Korea Selatan kami mengujungi sejumlah industri berlevel strategis, seperti industri air minum Samdasoo di Pulau Jeju yang indah dan industri alat-alat berat dan konstruksi Doosan di  Changwon.

Tempat lain yang kami kunjungi dan punya hubungan langsung dengan tulisan ini adalah Korea Aerospace Industries (KAI) di Sacheon.

Di KAI kami disambut oleh salah seorang Direktur Pelaksana KAI, Lee Dong Shin, dan beberapa stafnya. Di lobi KAI, mereka dengan begitu bersemangat menjelaskan satu persatu miniatur pesawat yang telah mereka produksi. Lalu kami dibawa ke ruang tunggu tamu. Di atas meja, juga ada miniatur pesawat-pesawat produksi KAI dalam ukuran yang lebih kecil. Selain miniatur pesawat, di atas meja itu juga ada miniatur satelit Arirang yang juga produksi KAI.

Usia KAI masih terbilang muda. Pada tahun 1999 menyusul kemelut keuangan yang lantas berubah menjadi kemelut ekonomi meluas di Asia, tiga perusahaan Korea Selatan, Samsung, Daewoo dan Hyundai, sepakat menggabungkan divisi dirgantara dan ruang angkasa yang mereka miliki menjadi satu perusahaan.

Sebelumnya, ketiga perusahaan itu mengerjakan produk-produk yang mendapat lisensi dari perusahaan penerbangan asing lain.

Misalnya di tahun 1989 Hyundai memproduksi BK-117. Di tahun yang sama Daewoo memproduksi CBS-5. Dua tahun kemudian Samsung mendapat lisensi dari Lockheed Martin untuk memproduksi F-16 C/D Block 52.

Setelah digabungkan dan menjadi satu perusahaan, di masa awal KAI melakukan pekerjaan upgrade dan modifikasi.

Baru di era 2000an, KAI memproduksi pesawat mereka sendiri. Salah satu yang paling terkenal adalah pesawat jet serang ringan T-50 yang mulai diproduksi pada 2005.

Indonesia menjadi negara pertama yang membeli pesawat jenis ini sebanyak 16 unit dan semuanya sudah digunakan oleh TNI AU untuk pesawat latih dan pengganti Hawk yang sudah tidak beroperasi lagi.

Dalam presentasinya, Lee Dong Shin menjelaskan kerjasama KAI dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dalam pembuatan pesawat tempur berteknologi 4.5 Fighter eXperiment (FX). Out put dari kerjasama ini adalah pembuatan150 unit FX untuk Korea Selatan (KFX) dan 50 unit untuk Indonesia (IFX).

Kerjasama ini sudah melewati tahap pertama, yakni technology and development base.

Kini sebanyak 70 insinyur dari PTDI ikut dalam program tahap kedua, engineering, manufacturing and development (EMD). Direncanakan sampai tahun 2021 sebanyak 190 insinyur penerbangan PTDI akan menuntut ilmu dan mempelajari pembuatan IFX di fasilitas KAI ini.

Tahap kedua EMD akan berakhir di tahun 2026. Setelah itu, KAI dan PTDI akan memasuki tahap ketiga, mass production.

Jadi secara teoritis Indonesia, melalui kerjasama dengan KAI, baru bisa memproduksi pesawat tempur sendiri setelah tahun 2026.

Setelah melihat hangar produksi bersama Lee Dong Shin, delegasi wartawan Indonesia mendapat kesempatan bertatap muka dengan kelompok insinyur penerbangan dari PTDI yang sedang berada di KAI.

Mewakili teman-temannya, kepala insinyur Indonesia di KAI, Gatot Pribadi Mulia, mengatakan pihaknya yakin bahwa pada akhir fase EMD, insinyur-insinyur Indonesia akan memiliki kemampuan membuat pesawat tempur di dalam negeri.

Di fase kedua ini, sebutnya, mereka mempelajari pengembangan dan rekayasa serta manufaktur pesawat tempur, sesuatu yang belum dimiliki PTDI yang selama ini fokus mengembangkan pesawat terbang transportasi sipil.

Bukan hanya mempelajari hal-hal yang terkait dengan teknologi pesawat tempur, mereka juga mempelajari dan memperdalam support logistic system, training system, simulator dan maintenance,.

Di akhir fase EMD, tahun 2006, diharapkan kerjasama ini sudah bisa membuat enam protype KFX untuk diujicoba.

Apakah sulit bagi PTDI untuk membuat pesawat tempur? Bukankah PTDI sudah lebih dahulu menekuni industri penerbangan dibandingkan KAI?

Menjawab pertanyaan ini, Gatot mengatakan, PTDI memang lebih dahulu menekuni industri pesawat terbang dari KAI. Tetapi karena selama ini fokus mengembangkan pesawat angkut dan komersial, maka PTDI sama sekali tidak memiliki pengalaman untuk membuat pesawat tempur.

"Konten teknologi pesawat komersial dan jet fighter pasti beda. Contohnya saja soal kecepatan. Pesawat komersial kecepatannya sub sonic, sementara kecepatan jet fighter sudah super sonic," kata Gatot.

Untuk mempelajari teknologi pembuatan pesawat tempur tentu membutuhkan waktu yang tak sebentar.

Gatot berharap tidak ada perubahan cuaca politik di tanah air yang akan menghentikan proses ini, seperti pukulan telak yang menghantam ulu hati IPTN (nama lama PTDI) pada tahun 1999 yang hampir-hampir mengkandaskan mimpi dirgantara Indonesia.

Kemarin pagi, saat pertama kali saya membaca berita tentang pameran dirgantara di Zhuhai yang digunakan RRC untuk memperlihatkan kecanggihan J-20 yang diklaim berteknologi 5.0, saya tertegun sebentar.

Lalu mengirimkan pesan pendek ke grup WA "PWI-Seoul Pelancong Dekil".

"China hari ini memulai pameran dirgantara sampai 6 November. Memperihatkan J-20 yang setara dengan F-22 Raptor dan F-35 Lightning II yang disebut sebagai generasi 5.0.

Indonesa baru bikin IFX tahun 2026.

IFX disebutkan oleh KAI sebagai generasi 4.5.

Kira-kira tahun 2026 China akan memamerkan apa?"

Setelah tiga jam berlalu dalam hening, akhirnya masuk juga jawaban dari Atal Depari. Singkat saja:

"Seharusnya generasi 6.5. Entah apa itu…"

Saya tersenyum. Asem. 

Yang jelas, kita masih harus menggunakan teknologi yang selama ini kita punya, teknologi sabar, sebelum mimpi dirgantara itu tiba.

Tunggu saja, lihat apa yang kita bisa setelah Pak Gatot Cs. pulang dari Korea.

Sementara itu, saya ucapkan selamat untuk China atas keberhasilan merobek-robek angkasa dengan auman J-20. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA