IPU: Kekerasan Terhadap Anggota Parlemen Wanita Masih Kerap Terjadi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Rabu, 26 Oktober 2016, 19:24 WIB
IPU: Kekerasan Terhadap Anggota Parlemen Wanita Masih Kerap Terjadi
Ilustrasi/The Guardian
rmol news logo Kekerasan fisik, seksual dan psikologis terhadap anggota parlemen wanita ternyata kerap terjadi di sejumlah tempat.

Begitu bunyi sebuah penelitian terbaru terhadap anggota parlemen di seluruh dunia yang dilakukan oleh Inter-Parliamentary Union (IPU).

Dalam penelitian yang dilakukan dengan metode wawancara itu, ditemukan bahwa lebih dari seperlima angota parlemen wanita yang menjadi responden dalam mengatakan bahwa mereka telah mengalami satu atau lebih tindak kekerasan seksual dan hampir sepertiga mengatakan mereka pernah menyaksikan serangan seksual terhadap seorang rekan di parlemen.

Sementara itu, sekitar 80 persen dari mereka mengatakan pernah mengalami kekerasan psikologis atau perilaku bermusuhan yang menyebabkan rasa takut atau bahaya psikologis.

Dalam penelitian yang sama, 65 persen anggota parlemen yang diwawancara juga mengatakan bahwa sekitar 65 persen dari mereka yang disurvei mengatakan mereka sering mengalami komentar seksis memalukan. Sebagian komentar seksis dibuat di parlemen oleh rekan-rekan pria, dari partai mereka sendiri maupun dari partai-partai oposisi.

Hampir setengah dari mereka yang disurvei mengatakan mereka pernah mengalami serangan di sosial media.

"Secara umum, sikap berlebihan atau kurang feminin mereka adalah subjek dari komentar reguler dan meluas, serangan dan cemoohan. Hal yang sama berlaku dari status suami-istri, emosional, kehidupan seksual dan keluarga, baik yang imajiner ataupun realita," kata laporan tersebut.

Namun demikian, penelitian tersebut agaknya kurang dapat mewakili data sesungguhnya karena hanya melibatkan sebagian kecil responden, yakni wawancara dengan 55 anggota parlemen wanita dari 39 negara di dunia.

Akan tetapi, Sekjen IPU Martin Chungong, mengatakan bahwa hasil tersebut dapat membuka mata soal masalah lain yang kadang kurang disadari. Penelitian itu juga menunjukkan bahwa ada hal lain yang menggerogoti demokrasi serta upaya untuk mengakhiri ketidakadilan gender.

Ia menyebut bahwa penelitian tersebut diharapkan bisa membangkitkan kesadaran serta tindakan lebih lanjut untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dalam politik. [mel]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA