Kecaman ini dikeluarkan setelah tiga orang pekerja yang sedang melakukan aksi mogok tewas ditembak polisi.
"Kami mengutuk kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan politik atau lainnya dan mendesak semua pihak untuk menahan diri dan menghormati aturan hukum," kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Marie Harf, kemarin, seperti dikabarkan
Xinhua (Sabtu, 4/1).
AS, kata Harf, sangat menyesalkan hilangnya nyawa dan mendesak pekerja, serikat pekerja dan pemerintah Kamboja untuk bekerja sama menuju penyelesaian damai.
Bentrokan berdarah yang menewaskan tiga orang dan membuat beberapa orang terluka ini pecah ketika sekitar 2.000 pekerja garmen melakukan aksi protes di Phnom Penh, ibukota Kamboja.
Aksi protes ini dipicu tuntutan kenaikan upah kerja yang lebih tinggi. Para pekerja meminta pemerintah menaikkan upah minumum dua kali lipat menjadi 160 dolar AS atau sekitar Rp1,9 juta per bulan.
Industri manufaktur Kamboja menyerap sekitar 500.000 tenaga kerja. Garmen tercatat sebagai ekspor terbesar negara itu, termasuk produk-produk merek ternama seperti Gap dan Nike.
Kekerasan terjadi di tengah kekacauan politik ketika kubu oposisi menggelar demonstrasi setiap hari untuk menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Hun Sen dan menuntut pemilihan umum baru. Kubu oposisi pimpinan Sam Rainsy menuduh Hun Sen mencurangi pemilihan umum Juli lalu.
BERITA TERKAIT: