Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

CATATAN TENTANG SURIAH

Butuh Sepuluh Tahun untuk Menjawab Pertanyaan Itu...

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Selasa, 27 Agustus 2013, 10:05 WIB
Butuh Sepuluh Tahun untuk Menjawab Pertanyaan Itu...
ilustrasi/net
rmol news logo Sepuluh tahun lalu, Mei 2003, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Colin Powell bertemu dengan Presiden Suriah Bashar Assad di Damaskus.

Dalam pertemuan itu, Powell dan Assad membicarakan sejumlah hal berkaitan dengan isu keamanan Timur Tengah menyusul kejatuhan Saddam Hussein di Irak kurang dari sebulan sebelumnya.

Powell meminta agar Suriah menarik 20 ribu tentara Suriah dari Lebanon yang disiagakan di sana sejak Israel mencaplok Dataran Tinggi Golan dari Suriah pada 1967. Powell juga meminta Suriah menghentikan dukungan kepada kelompok garis keras pendukung kemerdekaan Palestina yang oleh AS diberi cap teroris.

Kedua permintaan ini tak bisa dipenuhi Assad. Dia bertahan, Suriah akan tetap menyiagakan tentara di sekitar kawasan Dataran Tinggi Golan yang sebenarnya diakui dunia internasional sebagai wilayah Suriah yang dicaplok Israel. Assad juga tak mau menarik dukungannya terhadap kemerdekaan bangsa Palestina dari penjajahan Israel.

Dari sekian banyak hal yang dibicarakan Powell dan Assad, pesan tunggal yang tertinggal adalah: bila Suriah tidak mengikuti kemauan AS, maka Suriah akan menjadi "the next" yang dihancurkan setelah Irak dan Saddam Hussein.

Pembicaraan Powell dan Assad inilah yang menurut Charge d'Affaires Kedutaanbesar Suriah untuk Indonesia di Jakarta, DR. Bassam Alkhatib, merupakan indikasi kuat bahwa kehancuran Suriah dan rezim Assad telah dirancang AS jauh hari sebelum perang saudara merebak di Suriah menyusul Arab Spring Uprising yang melanda Timur Tengah awal 2011.

Saya bertemu dengan Bassam Alkhatib di kantornya di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, dua pekan lalu. Bassam memulai tugas di Indonesia pada 2009. Di sela-sela menjalankan tugas diplomatik, pria kelahiran Damaskus, 21 Juni 1964 ini menyempatkan diri menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Disertasi yang diselesaikannya tahun lalu menyoroti peran Liga Arab dalam Krisis Teluk Kedua (1991) dan Krisis Teluk Ketiga (2003), dan diperkaya oleh pengalamannya sebagai Kepala Misi Suriah di Liga Arab antara 1996 hingga 2000.

Sebelum bertugas di Jakarta, Bassam Alkhatib pernah ditugaskan di Komisi Dua PBB di New York (1994-1995), sebagai Direktur Kementerian Luar Negeri (2000-2002), di Kedutaanbesar Suriah di Moskow, Rusia (2002-2003), juga di Kedutaanbesar Suriah di Stockholm (2004-2007). Saat bertugas di Rusia, Bassam Alkhatib menyempatkan diri menempuh pendidikan S-2 di jurusan studi kawasan Universitas Ketimuran, Moskow.

Menurut hemat Bassam Alkhatib, ancaman Powell itu adalah salah satu titik penting yang harus diperhatikan manakala membicarakan krisis politik kontemporer di Suriah.

Bassam meragukan istilah perang saudara untuk menggambarkan konflik yang terjadi di negerinya. Seperti namanya, perang saudara adalah perang yang terjadi di antara pihak-pihak yang masih mengakui ikatan persaudaraan. Sebagai saudara, mereka memiliki pandangan yang berbeda namun kepentingan yang sama, yakni kepentingan nasional.

Sementara yang sedang terjadi di Suriah jauh dari konsepsi itu.

"Saya menghargai oposisi-nasional yang berseberangan dengan pemerintah namun tetap menjadikan kepentingan nasional sebagai kiblat perjuangan. Bukan oposisi yang dibiayai pihak asing untuk memperjuangkan kepentingan asing," ujar Bassam Alkhatib.

"Amerika Serikat tidak ingin ada negara kuat di Timur Tengah. Mereka selalu khawatir dengan negara yang kuat secara militer. Negara-negara seperti ini adalah hambatan dalam menguasai kekayaan alam di kawasan ini. Untuk melemahkan negara ini, mereka menciptakan kelompok oposisi-anti nasional," sambungnya.

Krisis politik yang terjadi di Irak pada 2003, hingga yang juga sedang terjadi di Mesir adalah contoh dari grand scenario itu.

"Ini juga yang menjelaskan tentang apa yang terjadi di Suriah. Mereka ingin silent army di Timur Tengah."

Bassam Alkhatib menegaskan bahwa AS dan sekutu utamanya di Timur Tengah, Israel, akan menggunakan segala hal dalam proses memetakan ulang (remapping) kawasan itu.

Dia bercerita tentang Salvador Option, operasi Departemen Pertahanan AS menggalang milisi sepanjang Perang Saudara di El Salvador antara 1970an hingga 1990an. Dia juga menjelaskan keterlibatan diplomat senior AS yang pernah bertugas di Hoduras dan Irak, John Negroponte di balik Death Squad. Juga peranan Dutabesar AS di Suriah, Stephen Ford, di balik perlawan oposisi Suriah. Kelompok yang digalang Ford ini, menurut Bassam Alkhatib, digunakan untuk merusak Suriah dari dalam, persis seperti yang dilakukan di El Salvador.

Death Squad yang digalang Stephen Ford ini adalah mesin utama di balik kelompok oposisi Suriah.

Hal lain yang kami bicarakan berkaitan dengan pemberitaan media massa internasional (baca: Barat) terhadap krisis politik di Suriah. Secara umum laporan media massa menempatkan pemerintahan Basar Assad sebagai the bad guy, pihak yang paling bersalah terhadap semua kekacauan yang terjadi di negeri itu, anti-demokrasi, serta anti HAM dan perikemanusiaan.

Bassam Alkhatib tidak menutupi kekecewaannya pada pemberitaan-pemberitaan media massa (juga media sosial) tersebut. Bagaimanapun, ujarnya, ada kepentingan yang unik di belakang setiap organisasi media massa, bahkan di belakang orang yang berkerja sebagai jurnalis.

Bassam Alkhatib menyelesaikan pendidikan S-1 jurusan jurnalistik di Universitas Damaskus pada 1992. Sebagai orang yang mempelajari jurnalistik dia tentu memahami hal ini.

Ada empat elemen utama dalam komunikasi massa, yakni sender, message atau pesan, channel atau saluran media untuk mengirimkan pesan, dan receiver penerima pesan.

Memperhatikan keempat elemen itu, Bassam Alkhatib menyimpulkan bahwa peranan publik, khususnya di Indonesia, berkaitan dengan krisis yang terjadi di Suriah hanya sedikit sekali, hanya sebagai penerima informasi. Jurnalis Indonesia pun mungkin hanya menterjemahkan berita dari media massa asing ke dalam bahasa Indonesia dengan sedikit penambahan atau pengurangan.

"Dengan model seperti ini, apa yang bisa kita harapkan? Inilah ketidakseimbangan arus informasi," ujarnya lagi.

***

Saya pernah mengunjungi Damaskus dan beberapa kota lain di Suriah medio Februari-Maret 2003, menjelang serangan pasukan AS dan sekutu ke pusat pertahanan Saddam Hussein di Baghdad.

Saya mengenang Damaskus sebagai tempat yang cukup nyaman untuk ditinggali. Masyarakatnya hangat dan terbuka. Media massa beredar bebas, kafe-kafe internet dapat dengan mudah ditemui di Damaskus. Saya menyaksikan tak sedikit wanita Damaskus yang mengemudikan mobil.

Di dekat hotel saya, di sekitar Jalan Borsaid atau Port Said juga ada tempat hiburan malam, termasuk kabaret Rusia. Penduduk Damaskus, termasuk pendatang seperti saya, bisa menghabiskan malam di jalan-jalan Damaskus tanpa gangguan.

Di hari kedua kunjungan saya, puluhan ribu orang menggelar demonstrasi, berjalan kaki dari stasiun kereta hingga ke gedung parlemen untuk menyampaikan kecaman terhadap keinginan Amerika Serikat menginvasi Irak.

Dari pembicaraan dengan masyarakat setempat saya dapat menyimpulkan bahwa mereka sangat khawatir bahwa serangan Amerika Serikat ke Irak akan menjalar ke negeri-negeri lain di kawasan itu, termasuk tentu saja Suriah.

Saya juga kerap mengunjungi distrik Sayyidah Zainab, sekitar 10 kilometer di luar pusat kota Damaskus. Umat Syiah berkumpul di kawasan ini, di sekitar masjid dan makam Sayyidah Zainab, cucu Nabi Muhammad SAW. Mereka datang dari berbagai kota di Suriah, juga dari Irak dan Iran serta negeri-negeri lain.

Saya juga sempat mengunjungi Abu Kamal, sebuah kota kecil di timur persis di perbatasan Suriah dan Irak. Seperti di Damaskus saya juga menemukan masyarakat yang hangat dan bersahabat di sana. Para pekerja di pasar Abu Kalam yang saya temui pagi hari itu bertanya banyak hal kepada saya. Termasuk apakah perang akan tiba di kampung halaman mereka.

Dan kini, setelah sepuluh tahun berlalu, kita tahu apa jawaban dari pertanyaan itu. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA