Sayangnya, meskipun pemerintah melalui Direktorat Afrika Kementerian Luar Negeri telah aktif memberikan informasi, partisipasi langsung pengusaha Indonesia masih relatif sedikit. Hal ini antara lain, disebabkan oleh kurangnya minat karena faktor jarak yang jauh dan perlu biaya besar sehingga memberatkan, terutama bagi pengusaha kecil dan menengah.
Disamping itu, juga lantaran kebanyakan pengusaha Indonesia masih belum merasa yakin bahwa berbisnis di Afrika akan menguntungkan.
Begitu disampaikan Duta Besar RI untuk Dakar, Andradjati melalui rilis yang diterima
Rakyat Merdeka Online, Rabu (20/2).
Andradjati menambahkan, persepsi terhadap Afrika, khususnya terhadap kawasan Sub-Sahara Afrika serta cost and benefit antara lain merupakan faktor yang menyebabkan kurangnya minat pengusaha Indonesia untuk berbisnis di Afrika.
Sekadar diketahui, kata Dubes Andradjati, KBRI Dakar setiap tahun memberikan fasilitasi bagi pengusaha Indonesia, terutama pengusaha kecil dan menengah yang berminat untuk berpartisipasi dalam FIDAK. Fasilitas yang diberikan itu mencakup antara lain penyediaan ruang pameran, penyediaan penterjemah bahasa Prancis (Senegal adalah negara berbahasa Prancis), menjalin kontak dan pendampingan dalam negosiasi dengan pengusaha setempat, penyediaan akomodasi dan transportasi serta bantuan lain yang diperlukan untuk kemudahan partisipasi pengusaha Indonesia.
Produk-produk Indonesia yang beredar di pasar Senegal pun terbilang beragam mulai dari furnitur, pakaian jadi hingga meliputi beberapa produk kebutuhan sehari-hari.
Andradjati mengatakan, berdasarkan informasi yang diperolehnya dari warga Senegal yang sudah lama tinggal di Indonesia, Bapak Amadou Balde, barang Indonesia yang diekspor ke Senegal adalah pakaian jadi seperti kaos Polo, Lacoste kaos fit badan, baju setelan anak anak, pakaian dalam wanita, serta makanan kering seperti biskuit dan juice serbuk seperti extra joss.
Khusus untuk juice serbuk, biskuit dan permen sebetulnya susah masuk ke Senegal. Pasalnya, di Senegal dan juga Moroko ada pabrik sehingga harga komoditi ini tidak dapat dapat bersaing lantaran biaya transportasi.
"Barang elektronik tidak terlalu banyak, biasanya mereka ekspor untuk dipakai sendiri," sambungnya.
Berbagai jenis benang juga cukup diminati karena di Senegal banyak penjahit. Selain itu, juga kantong plastik segala jenis laku dijual di Senegal. Dari penuturan Amadou Balde, pihaknya juga memperoleh informasi bahwa sebetulnya banyak komoditas Indonesia yang bisa diekspor ke Senegal. Seperti, perhiasan emas yang ternyata kualitasnya bagus dan harga lebih murah dibandingkan di Senegal. Pun demikian minyak goreng dari Indonesia harganya terbilang murah dibandingkan dengan Senegal.
Sedangkan di Gambia, sebuah negara kecil berpenduduk 1,7 juta jiwa, berbahasa Inggris dan merupakan tetangga terdekat dengan Senegal, produk Indonesia yang dijual di berbagai gerai swalayan dan pasar lebih banyak jenisnya ketimbang di Senegal. Lebih dari itu, berdasarkan keterangan importirnya yang pengusaha India dan Lebanon, mereka setiap tahun mengirim tiga 3 (tiga) kontainer 40 ft berisi berbagai jenis produk dari Indonesia.
Berbagai produk kebutuhan pokok sehari-hari sangat cepat penjualannya di Gambia.
"Saya sangat berharap lebih banyak lagi produk Indonesia yang diekspor ke negara-negara di kawasan Sub-Sahara Afrika, khususnya di 9 (sembilan) negara akreditasi KBRI Dakar di sub-kawasan Afrika Barat dan Tengah, yakni Senegal, Gabon, Gambia, Guinea, Guinea-Bissau, Mali, Pantai Gading, Republik Demokrtik Kongo (Kongo-Kinshasa) dan Sierra Leone," imbuhnya.
Terakhir Andradjati menyatakan, kawasan Sub-Sahara Afrika sebetulnya memiliki peluang bisnis yang baik. Dan, sudah waktunya bagi Indonesia sebagai negara besar dan sukses dalam pembangunan ekonominya untuk lebih berkiprah di bidang bisnis di kawasan ini sebagai pasar non-tradisional bagi produk ekspor Indonesia.
"Bagi saya, sekarang adalah saat yang tepat untuk berbisnis di Afrika, seperti judul lagu,
It’s Now or Never," demikian Andradjati.
[wid]
BERITA TERKAIT: