Rendahnya Pekerja Formal jadi Tantangan di Satu Tahun Prabowo

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/alifia-dwi-ramandhita-1'>ALIFIA DWI RAMANDHITA</a>
LAPORAN: ALIFIA DWI RAMANDHITA
  • Selasa, 21 Oktober 2025, 12:28 WIB
Rendahnya Pekerja Formal jadi Tantangan di Satu Tahun Prabowo
Forum Diskusi Capaian Satu Tahun Kinerja Kabinet Merah Putih di Bidang Perekonomian di Jakarta, Senin, 20 Oktober 2025 (Foto: RMOL/Alifia Dwi Ramandhita)
rmol news logo Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyoroti sejumlah tantangan struktural yang masih membayangi pertumbuhan ekonomi nasional di satu tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Ketua Umum Bidang Perdagangan APINDO, Anne Patricia Sutanto menyebut, persoalan utama terletak pada rendahnya persentase pekerja formal, melemahnya industri sebelum mencapai puncak, serta pergeseran investasi dari padat karya menuju padat modal.

“(Tenaga kerja) pertanian itu 40 juta saat ini baru 12 persen formal, mungkin ini juga salah satu sebabnya pemerintah nurunin PLP (Pengelolaan Lahan Pertanian), itu karena pekerja formalnya baru terserap 12 persen,” ujar Anne dalam Forum Diskusi Capaian Satu Tahun Kinerja Kabinet Merah Putih di Bidang Perekonomian di Jakarta, Senin, 20 Oktober 2025.

APINDO mencatat, tiga sektor dengan serapan tenaga kerja terbesar saat ini adalah pertanian, akomodasi dan layanan makanan, serta manufaktur. Namun, mayoritas tenaga kerja di ketiga sektor tersebut masih berstatus informal.

Di sektor akomodasi dan layanan makanan, misalnya, dari total 27 juta tenaga kerja, hanya 29 persen atau sekitar 7,8 juta yang berstatus formal. Sementara sektor manufaktur menjadi yang paling tinggi tingkat formalitasnya, dengan 61 persen atau sekitar 12,2 juta pekerja.

Anne menilai, minimnya tenaga kerja formal tersebut menjadi bukti bahwa arah investasi di Indonesia telah bergeser.

“Investasi kita ini dalam beberapa tahun terakhir, saya bisa bilang 5 tahun terakhir ya, kita malah beralih dari padat karya ke padat modal,” kata Anne.

Ia menambahkan, sekitar satu dekade lalu, setiap Rp1 triliun investasi mampu menciptakan hingga 4.000 lapangan kerja. Namun kini, jumlah yang sama hanya mampu menyerap sekitar 1.393 pekerja.

Anne juga mengingatkan bahwa sektor manufaktur nasional telah melemah sebelum sempat mencapai titik optimal. Menurutnya, gejala deindustrialisasi dini sudah mulai terasa sejak awal 2000-an, ketika kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB masih mencapai 29 persen.

“Setelah itu kontribusinya terus menurun hingga berada di bawah 20 persen, dengan catatan terakhir tahun 2024 hanya sebesar 18,98 persen,” jelasnya.

Data APINDO menunjukkan, pada 2024 industri manufaktur nonmigas mengalami kontraksi 0,84 poin persentase terhadap PDB. Dalam sepuluh tahun terakhir, sebanyak 9 dari 15 subsektor industri juga mengalami penurunan.

Anne menyebut, kondisi pelemahan industri yang terjadi saat ini berbanding terbalik dengan komitmen pemerintah untuk menjadikan sektor padat karya sebagai pilar pertumbuhan ekonomi.

“Saya ingat 25 Oktober 2015, Presiden sebelumnya menjanjikan pillar of growth-nya Indonesia ini sebenarnya padat karya pada acara Sarasehan 8 April Pak Prabowo juga menjanjikan sektor padat karya ini menjadi pillar of growth,” ungkapnya.

Ke depan, APINDO berharap pemerintah mampu menyiapkan strategi yang lebih konkret dalam menghadapi tantangan struktural ekonomi nasional. Dunia usaha, menurut Anne, telah siap bekerja sama untuk memperkuat sektor riil dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

“Jadi kami sebenarnya di dunia usaha ingin bersama-sama pemerintah melihat bagaimana tantangan struktural sektor riil itu benar-benar di-debottlenecking (menghilangkan hambatan),” tandasnya.rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA