Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M Fadhil Hasan, mengatakan sejumlah indikator justru bertolak belakang dengan klaim pertumbuhan tersebut.
“Kalau kita lihat dari sisi indikator ekonomi utama justru banyak yang menunjukkan pelemahan pada kuartal II 2025 atau dalam semester pertama 2025 dibanding tahun lalu,” kata Fadhil dalam diskusi publik INDEF pada Rabu, 6 Agustus 2025.
Ia menyoroti data industri pengolahan yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tumbuh 5,68 persen, padahal Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur berada di bawah 50, yang berarti sektor tersebut sedang mengalami kontraksi.
“PMI triwulan II 2025 itu justru di bawah angka 50, ini artinya industri terkontraksi. Bagaimana kemudian leading economic indicator-nya itu kontraksi ya tapi pertumbuhannya itu meningkat signifikan sekali, nah itu pertanyaan,” tegasnya.
Selain itu, Fadhil juga mencatat konsumsi rumah tangga yang tumbuh hanya 4,97 persen tanpa dorongan efek musiman seperti Ramadan dan Lebaran. Kondisi ini dinilai aneh mengingat konsumsi menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Dari sisi konsumsi secara umum juga mengalami pelemahan dan tidak ada dorongan seasonal effect, misalnya dari Lebaran, Ramadan, gitu ya tapi tumbuh juga cukup tinggi,"tambahnya.
Sementara dari sisi penjualan kendaraan, data menunjukkan penurunan signifikan. Penjualan wholesale kendaraan pada Januari-Juni 2025 turun 8,6 persen, sementara penjualan retail anjlok 9,5 persen.
Sementara itu, arus investasi asing langsung (FDI) juga tercatat menurun 6,9 persen dari Rp217,3 triliun di kuartal II 2024 menjadi Rp202,2 triliun di periode yang sama tahun ini.
"Dari sisi FDI asing ini keterangan dari Pak Rosan Roeslani sendiri menyatakan bahwa turun menjadi Rp202,2 triliun," tuturnya.
Fadhil juga menyoroti perlambatan pertumbuhan kredit yang hanya tumbuh 7,7 persen dibandingkan 8,3 persen di periode yang sama tahun sebelumnya. Ia menilai penurunan ini menunjukkan lemahnya permintaan dari dunia usaha dan masyarakat.
“PHK di semester pertama 2025 juga melonjak 32 persen. Sementara Indeks Kepercayaan Konsumen, ekspektasi penghasilan menurun dari 135 mejadi 133 di bulan Juni, serta indikator pasar keuangan juga menunjukkan tren negatif dengan capital outflow dari saham dan SRBI mencapai Rp59 triliun dan Rp77,4 triliun,” jelasnya.
Yang paling mengkhawatirkan, menurut Fadhil, adalah penurunan tajam pada penerimaan PPN dan PPNBM yang anjlok hampir 20 persen pada semester pertama 2025. Padahal, penerimaan pajak seharusnya naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
"Penerimaan pajak atau PPN dan PPnBM itu turun pada semester pertama di tahun 2025 Itu Rp267,3 triliun dari Rp332,9 triliun di semester pertama 2024, atau turunnya hampir 20 persem. Seharusnya penerimaan pajak itu naik seiring makin tinggi pertumbuhan ekonomi," tandasnya.
BERITA TERKAIT: