McKinsey Sudah Hitung Defisit Global, Indonesia Harus Mulai dari Tambang Rakyat

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/widodo-bogiarto-1'>WIDODO BOGIARTO</a>
LAPORAN: WIDODO BOGIARTO
  • Kamis, 31 Juli 2025, 14:11 WIB
McKinsey Sudah Hitung Defisit Global, Indonesia Harus Mulai dari Tambang Rakyat
Pendiri Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi/Ist
rmol news logo Indonesia tak bisa lagi menunggu momentum dari luar negeri untuk bangkit dari ketergantungan teknologi. Dunia sudah bergerak, dan krisis logam tanah jarang magnetik akan menjadi penentu arah industri masa depan.

Laporan terbaru dari McKinsey & Company menyebutkan bahwa permintaan terhadap unsur tanah jarang seperti neodymium dan praseodymium akan melonjak drastis dari 59.000 ton pada 2022 menjadi 176.000 ton pada 2035. Namun kapasitas suplai dunia hanya mampu menutupi sekitar 70 persen, sisanya, sebanyak 30 persen, akan menjadi defisit global yang sangat berisiko bagi industri strategis dunia.

Pendiri Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi mengatakan, angka ini bukan sekadar statistik, melainkan peta krisis masa depan yang harus diantisipasi sekarang.

“Kalau McKinsey sudah menghitung dengan data global, maka kita sebagai bangsa tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu. Justru kita harus mulai dari bawah: dari tambang rakyat, dari potensi lokal, dari hulu yang kita miliki sendiri,” kata Haidar dalam keterangannya, Kamis 31 Juli 2025.

Magnet tanah jarang adalah tulang punggung bagi motor listrik kendaraan EV, turbin angin, perangkat pertahanan, robot, hingga satelit. Semua teknologi tinggi masa depan bergantung pada logam ini.

Namun sebagian besar penambangan dan pemrosesannya dikuasai oleh China, yang saat ini menyumbang lebih dari 60 persen produksi dan lebih dari 80 persen pemurnian REE (rare earth elements) global. Ketika dunia terfokus pada hilirisasi, diversifikasi rantai pasok, dan investasi daur ulang, Indonesia justru masih terjebak dalam tahap eksplorasi dan uji laboratorium.

“Negara-negara besar sekarang sedang panik membangun ketahanan REE. Sementara kita masih sibuk pada tataran koordinasi lintas kementerian yang tak pernah tuntas,” kata Haidar.

Sementara itu, McKinsey, firma konsultan manajemen global asal Amerika Serikat yang berdiri sejak 1926, bukanlah lembaga biasa. Mereka dikenal dunia karena riset industri yang cermat, digunakan oleh para pembuat kebijakan, investor besar, bahkan pemerintah negara maju.

Ketika McKinsey memperingatkan soal defisit 30 persen pasokan REE dunia, artinya ada krisis yang sudah mulai terukur secara global. Ini bukan opini sepihak, tapi hasil dari pengumpulan data lintas industri teknologi dan energi.

“Indonesia punya potensi, punya bahan mentah, punya pengalaman tambang. Tapi jika kita tidak segera membangun peta jalan nasional tanah jarang, kita akan kembali jadi bangsa penyedia tanah mentah dan pembeli barang jadi yang mahal,” kata Haidar.

Bagi Haidar, solusi tidak harus selalu mahal. Justru ia mengusulkan agar pemerintah segera membuka jalur legal koperasi tambang rakyat khusus logam tanah jarang. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) bisa diarahkan ke wilayah-wilayah yang memiliki tailing atau mineral ikutan REE seperti di Bangka Belitung (timah), Kalimantan Barat (bauksit), dan Sulawesi (nikel laterit).

“Yang selama ini dianggap limbah justru menyimpan nilai strategis masa depan. Jangan biarkan rakyat menggali tanpa perlindungan hukum. Berikan izin, latih teknologinya, dampingi dengan pusat riset lokal, lalu sambungkan ke hilirisasi. Inilah cara membangun kedaulatan dari bawah,” kata Haidar.

Ia juga menekankan pentingnya pendirian Badan Nasional Rare Earth (BNRE) yang secara khusus menangani eksplorasi, pemrosesan, pemurnian, hingga daur ulang magnet tanah jarang.

Indonesia perlu investasi dalam riset pemisahan logam NdPr, teknologi bebas merkuri, serta proses daur ulang dari limbah EV dan turbin angin. Di masa depan, sumber tanah jarang tidak hanya datang dari perut bumi, tapi juga dari tumpukan elektronik bekas.

“Negara lain sudah berbicara tentang circular economy rare earth. Kita bahkan belum mulai dari linear economy-nya. Padahal, generasi kita punya kesempatan untuk membalik sejarah: dari bangsa penambang menjadi bangsa pemilik teknologi,” kata Haidar.

Ketika dunia panik kekurangan logam magnetik dan McKinsey sudah memetakan krisisnya, maka bangsa Indonesia harus segera menyusun strategi nasional tanah jarang.

Jangan sampai krisis energi dan teknologi di masa depan justru menjadi keuntungan bagi negara lain, sementara kita hanya menjadi pasar atau buruh tambang. Haidar mengingatkan bahwa semua strategi harus dimulai dari kesadaran, diikuti kemauan politik, lalu didorong oleh gerakan rakyat.

“Kita harus percaya pada potensi bangsa sendiri. Jangan tunggu investor asing untuk membangun smelter, jangan tunggu insinyur asing untuk riset magnet. Kita bisa mulai dari rakyat, dari universitas negeri, dari koperasi, dari desa-desa yang punya gunung tapi belum punya masa depan,” kata Haidar.

Ia menekankan bahwa tanah jarang bukan soal tambang semata, ini soal kedaulatan masa depan.

"Kalau McKinsey sudah bicara defisit global, maka giliran kita untuk bicara keberanian nasional. Mulailah dari tambang rakyat, karena dari situlah teknologi bangsa bisa berdiri di atas kaki sendiri,” pungkas Haidar. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA