Dikutip dari
Reuters, harga minyak mentah Brent naik tipis 12 sen atau 0,2 persen menjadi 64,88 Dolar AS per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS hanya naik 3 sen menjadi 61,53 Dolar AS per barel.
Kenaikan ini terjadi setelah Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan pengecualian tarif untuk produk-produk elektronik seperti ponsel, komputer, dan barang-barang lain yang sebagian besar diimpor dari China. Kebijakan ini menjadi bagian dari serangkaian pengumuman tarif yang naik-turun, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan investor.
Trump juga menyampaikan bahwa minggu depan ia akan mengumumkan tarif baru untuk impor semikonduktor.
Di sisi lain, data menunjukkan bahwa impor minyak mentah China melonjak tajam pada bulan Maret, naik hampir 5 persen dibanding tahun lalu. Lonjakan ini didorong oleh meningkatnya pengiriman minyak dari Iran dan pulihnya ekspor Rusia.
Meskipun begitu, harga Brent dan WTI sudah turun sekitar 10 Dolar AS per barel sejak awal bulan ini. Banyak analis pun mulai menurunkan proyeksi harga minyak karena tensi perang dagang yang semakin panas antara China dan AS.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam laporan bulanan menyebutkan bahwa proyeksi permintaan minyak global tahun 2025 turun sebesar 150.000 barel per hari menjadi 1,3 juta barel per hari. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh dampak tarif perdagangan.
“Penurunan proyeksi dari OPEC menunjukkan betapa beratnya kondisi pasar saat ini akibat tarif dan ketidakpastian lainnya,” kata John Kilduff, analis dari Again Capital.
“Pasar masih terus mencoba memahami dampak dari perang dagang dan ketegangan dengan China,” tambahnya.
Sementara itu, Goldman Sachs memprediksi rata-rata harga minyak Brent pada sisa tahun 2025 berada di angka 63 dolar AS per barel, dan WTI di angka 59 dolar AS. Untuk tahun 2026, harga rata-rata diperkirakan akan turun masing-masing menjadi 58 dan 55 dolar AS.
Permintaan minyak global diperkirakan hanya akan tumbuh 300.000 barel per hari pada kuartal keempat tahun 2025 dibandingkan tahun sebelumnya, terutama karena melambatnya permintaan dari sektor petrokimia, menurut catatan analis yang dipimpin oleh Daan Struyven.
BERITA TERKAIT: