Asosiasi Penambang Nikel Indonesia Soroti Usulan Revisi Tarif Royalti Komoditas Mineral

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/bonfilio-mahendra-1'>BONFILIO MAHENDRA</a>
LAPORAN: BONFILIO MAHENDRA
  • Selasa, 18 Maret 2025, 08:05 WIB
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia Soroti Usulan Revisi Tarif Royalti Komoditas Mineral
Kepala Badan Pembinaan Organisasi dan Keanggotaan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (BPOK APNI), Osco Olfriady Letunggamu./Ist
rmol news logo Kebijakan revisi tarif royalti komoditas mineral belakangan ini menuai pro dan kontra.

Beberapa pelaku industri pun menyuarakan pendapat soal pertambangan dan hilirisasi mineral di Indonesia, salah satunya Kepala Badan Pembinaan Organisasi dan Keanggotaan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (BPOK APNI), Osco Olfriady Letunggamu.

Osco menjelaskan dalam usulan revisi tarif royalti bijih nikel yang sebelumnya flat 10 persen bakal diubah menjadi tarif progresif 14-19 persen, menyesuaikan dengan Harga Mineral Acuan (HMA).

"Penetapan royalti harus memutuskan tarif yang kompetitif agar tetap menarik bagi investor," kata Osco dalam keterangannya, Senin, 17 Maret 2025.

Lanjut Osco, seharusnya perubahan serupa juga diterapkan pada berbagai komoditas lainnya, seperti bijih tembaga, emas, perak, platina, dan timah.

"Produk olahan nikel (Ferronikel, NPI, dan Nikel Matte) masih dikenakan tarif yang lebih rendah dibandingkan emas dan tembaga olahan untuk mendorong hilirisasi," kata Osco.

Namun, menurut Osco, revisi tarif royalti seharusnya dikelola dengan cermat agar tidak menghambat investasi serta pertumbuhan sektor pertambangan. 

"Berdasarkan pengalaman global, penerapan tarif royalti yang terlalu tinggi dapat mengurangi daya saing industri nasional, mendorong relokasi investasi ke negara lain, serta menghambat proyek eksplorasi dan pengembangan tambang baru," terang Osco.

Untuk itu, Osco menyebutkan pihaknya telah melakukan studi terkait dampak bagi pemerintah, penambang, industri, dan luar negeri. 

"Ini mendorong hilirisasi industri mineral dengan memberikan skema tarif yang lebih kompetitif bagi produk olahan dan mengontrol eksploitasi sumber daya agar lebih berkelanjutan," kata Osco.

Namun, Osco juga khawatir adanya resiko penurunan investasi di sektor pertambangan bila adanya kenaikan royalti yang dianggap membebani pelaku usaha.

"Serta potensi hilangnya daya saing global, terutama jika negara lain memiliki kebijakan royalti yang lebih kompetitif," tegas Osco.

Itu sebabnya, Osco merekomendasikan pada pemerintah agar tarif royalti harus tetap kompetitif dibandingkan negara lain agar tidak mengurangi minat investasi. 

"Penyederhanaan regulasi penting untuk meningkatkan investasi dan mempercepat proses revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang saat ini bisa memakan waktu hingga 6 bulan," jelas Osco.

Terakhir, Osco meminta pemerintah mempertimbangkan investasi di sektor Hilirisasi dengan memberikan insentif bagi perusahaan dalam hilirisasi mineral agar daya saing industri nasional meningkat. 

"Kami memahami bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendorong hilirisasi industri mineral. Namun, perlu keseimbangan agar sektor pertambangan tetap kompetitif, smelter dalam negeri tetap berkembang, dan daya saing Indonesia di pasar global tetap kuat," kata Osco. rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA