Namun, kenaikan itu hanya berlaku untuk jasa dan barang mewah, sementara untuk barang kebutuhan umum tidak terjadi kenaikan atau batal diterapkan.
Hal ini menjadi perhatian serius dari ekonom.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengingatkan bahwa meskipun kebijakan tersebut hanya diberlakukan untuk barang mewah, menurutnya ada potensi penerapan kebijakan pajak baru yang lebih agresif yang mengintai masyarakat dan pelaku usaha.
Bhima menjelaskan, dengan menerapkan kenaikan PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa super mewah, pemerintah juga harus mencari sumber lain untuk menutupi defisit anggaran negara dan membayar utang jatuh tempo.
“Begitu PPN barang dan jasa umum tidak jadi 12 persen, ini dari mana pemerintah bisa mendorong penerimaan pajak lainnya atau pungutan lainnya untuk menutup defisit APBN dan membayar utang jatuh tempo?” ujarnya kepada
RMOL, dikutip Kamis 2 Januari 2025.
Menurut Bhima, langkah pemerintah untuk mencari penerimaan baru kemungkinan besar akan berujung pada pengenaan tarif pajak baru dan pungutan tambahan yang dapat menambah beban masyarakat dan dunia usaha di hari mendatang.
“Maka akan banyak sekali tarif pajak baru maupun pungutan yang harus diwaspadai oleh masyarakat, juga oleh pelaku usaha,” tegas Bhima.
Ia juga mengingatkan bahwa meskipun PPN 12 persen batal diterapkan untuk kebutuhan umum, pemerintah tetap berencana untuk melanjutkan program-program prioritas di tahun 2025.
Lebih jauh, Bhima menilai PPN 12 persen hanya salah satu dari sembilan kebijakan yang dapat menurunkan daya beli masyarakat pada tahun ini. Selain PPN, kebijakan-kebijakan lain seperti asuransi wajib kendaraan bermotor, Tapera, dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan,kata Bhima juga dapat mempengaruhi daya beli masyarakat.
"Kita belum bahas soal asuransi wajib kendaraan bermotor, tapera, iuran BPJS kesehatan akan naik, dan banyak lagi kebijakan lainnya," ujar Bhima.
Di sisi lain, Bhima juga menyoroti celah hukum yang memungkinkan pemerintah untuk kembali menaikkan tarif PPN di masa depan.
“Pasal 7 dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak 2021 masih memungkinkan pemerintah menaikkan PPN sampai 15 persen,” ungkap Bhima.
“Oleh karena itu kita tidak happy ya, dengan hanya PPN 12 persen dibatalkan. Kita kan menuntutnya, Celios menuntutnya turun. Kalau bisa PPN itu jadi 8 persen,” pungkas Bhima sambil menegaskan pentingnya kebijakan fiskal yang ramah terhadap daya beli masyarakat.
Bhima mengingatkan, meskipun PPN 12 persen hanya untuk barang mewah, masyarakat dan pelaku usaha harus tetap waspada terhadap kemungkinan kebijakan pajak baru yang bisa menambah beban ekonomi mereka.
BERITA TERKAIT: