Direktur Center for Energy Policy, Muhammad Kholid Syeirazi mengatakan, kondisi sumur-sumur di dalam negeri sudah tergolong
mature dan butuh biaya besar untuk tetap mempertahankan produksi.
Dalam kondisi ini, skema
cost recovery menjadi pilihan paling memungkinkan.
“Sumur-sumur kita sudah tua, uzur. Butuh biaya besar untuk mempertahankan produksi. Ibarat manusia, semakin tua semakin besar biaya yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan dan kecantikan,” kata Kholid dalam keterangan tertulisnya, Kamis (20/6).
Melihat kondisi terkini di lapangan, Kholid menyebut sumur-sumur di Indonesia lebih banyak kandungan air dibanding minyak. Untuk mengangkat minyak pun, membutuhkan usaha dan teknologi yang mahal.
Informasi Center for Energy Policy, para kontraktor juga lebih menginginkan perubahan skema
cost recovery dibanding
gross split yang kini banyak diterapkan.
Tanpa
cost recovery, kata dia, kontraktor migas sulit mendapat insentif untuk merambah ke wilayah
green field atau sumur dan cadangan baru. Mereka akan lebih senang bermain di area
brown field atau sumur-sumur yang sudah dikembangkan.
“Makanya ketika skema
cost recovery berubah menjadi
gross split, sangat tidak menarik bagi kontraktor hulu migas. Jika ini terjadi terus-menerus, pada saatnya bisa membuat penerimaan negara sektor migas menurun,” pungkas Kholid.
Sementara itu, Wakil Direktur Utama Pertamina, Wiko Migantoro dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI pekan lalu mengatakan, sektor hulu migas Indonesia menunjukkan tanda-tanda kenaikan produksi.
Untuk itu, dibutuhkan dukungan untuk memperbaiki
fiscal term di sektor hulu migas. Melalui perbaikan
fiscal term, diharapkan bisa mendorong optimalisasi produksi migas.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto sebelumnya juga menyebut akan ada perubahan
gross split menjadi
cost recovery pada sejumlah wilayah kerja migas.
“Karena
gross split terasa betul KKKS tidak bisa bergerak melaksanakan aktivitas. Oleh karena itu, mereka mengajukan perubahan ke
cost recovery,” kata Dwi.
BERITA TERKAIT: