Namun seiring dengan berjalannya waktu, Pertamina akan meningkatkan alokasi belanja perusahaan untuk pengembangan bisnis berkarbon rendah.
“Kami akan beralih menuju energi yang berkelanjutan tanpa mengorbankan keamanan dan ketersediaan energi,” kata Nicke dalam forum internasional di sektor energi CERAWeek di Houston, Amerika Serikat, dikutip Senin (25/3).
Di forum global tersebut, Nicke juga mengulas mengenai tantangan utama dalam transisi energi di Indonesia meliputi teknologi, pembiayaan, dan pengembangan SDM.
Menurutnya memperbaiki kualitas talenta SDM harus dilakukan, agar siap dan relevan dengan kebutuhan energi masa depan. Teknologi juga sangat penting, meskipun Pertamina perlu mempertahankan produksi minyak dan gas serta mengurangi emisi karbon.
“Kami telah melakukan dekarbonisasi ruang lingkup 1 dan 2 dalam operasi, dan kami berhasil mengurangi sekitar 31% emisi karbon dalam operasi internal, tetapi kami masih percaya bahwa masih banyak ruang untuk ditingkatkan,”tambahnya.
Nicke mengakui bahwa dekarbonisasi adalah prioritas utama yang diikuti oleh pengembangan teknologi baru untuk memanfaatkan sumber daya domestik seperti bio energi.
Nicke mengatakan, Indonesia memiliki potensi energi berbasis tumbuhan, sehingga diperlukan teknologi yang dapat mengolah sumber daya alam menjadi energi.
Selain itu, tambahnya, pemboran unconventional dan teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon juga penting untuk mengatasi tantangan offset karbon.
“Kami percaya bahwa teknologi dan kolaborasi adalah kunci untuk kemajuan dalam hal ini,” kata Nicke.
Pertamina sebagai perusahaan pemimpin di bidang transisi energi, berkomitmen dalam mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina.
BERITA TERKAIT: