Adapun ekspor tuna-cakalang-tongkol mencapai 282 juta Dolar AS sementara untuk produk cumi-sotong-gurita mencapai 195 juta Dolar AS. Untuk tahun 2023, PNBP perikanan ditarget mencapai Rp3,2 miliar atau kenaikan sebesar 92,9 persen dari tahun 2022.
“Di balik performa industri perikanan tangkap Indonesia, terdapat darah dan keringat awak kapal perikanan (AKP) dan pekerja pengolahan perikanan yang dipaksa untuk terus mengeruk hasil laut Indonesia”, ujar Human Rights Manager DFW, Miftachul saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (10/12).
Dalam kurun waktu 2020-2023, National Fisher Centre (NFC) mencatat terdapat 123 aduan pelanggaran hak-hak tenaga kerja yang terjadi diatas kapal. Tidak jarang aduan tersebut dapat dikategorikan sebagai kerja paksa hingga perdagangan orang.
“Dari jumlah aduan tersebut, NFC mencatat terdapat 325 korban. Jumlah ini terdiri 54,92 persen AKP domestik dan 45,08 persen AKP migran. Angka tersebut tentunya hanya segelintir dari ratusan kasus yang dialami oleh AKP setiap tahunnya,” jelas Miftachul.
Dia melanjutkan, berdasarkan jumlah tersebut, 47,1 persen aduan ditujukan kepada agen penyalur tenaga kerja atau calo, diikuti dengan perusahaan pemilik kapal sebesar 28,9 persen dan pemilik kapal perseorangan sebesar 18,2 persen.
Adapun agen penyalur kerja dilaporkan paling banyak oleh AKP migran (50), sedangkan pemilik kapal paling banyak dilaporkan oleh AKP domestik (30). Sebanyak 58,7 persen dari total kasus telah diselesaikan sedangkan 40,5 persen kasus sedang dalam proses rujukan. Adapun wilayah paling banyak menerima aduan adalah Sulawesi Utara (49), Jawa Tengah (30), dan Jawa Barat (12).
“Laut Aru, Arafura, dan Timor yang merupakan bagian dari WPP 718 merupakan wilayah dengan total pengaduan terbanyak. Berdasarkan estimasi potensi sumber daya perikanan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, WPP 718 memiliki sumber perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan demersal di Indonesia. Data yang dihimpun oleh DJPT KKP menunjukan terdapat 940 kapal yang mengantongi SIUP/SIKPI di WPP 718,” bebernya.
Sambung Miftachul, mayoritas korban (35,7 persen) melaporkan kasus pemotongan gaji tanpa transparansi dari pemilik kapal atau kapten. Pemotongan gaji terjadi akibat perekrutan AKP didominasi oleh calo yang memberikan hutang kepada calon AKP dan mensyaratkan pembayaran melalui pemotongan gaji.
“Celakanya, calo tidak memberikan kejelasan dan transparansi atas uang yang dihutangi AKP. Tidak jarang, AKP pulang tanpa menerima gaji sepeserpun akibat harus membayar utang,” tegas dia.
Penyebab berikutnya, lanjut dia, pemotongan gaji tanpa transparansi adalah pemilik kapal yang membebani kebutuhan sehari-hari kapal kepada kapten.
“Kapten, yang juga memiliki keterbatasan finansial, kemudian memperjualbelikan barang-barang seperti makan, alat mandi, hingga rokok. Padahal, seharusnya AKP tidak perlu mengeluarkan uang untuk kehidupan mereka sehari-hari di atas kapal,” jelasnya lagi.
Pemotongan gaji juga terjadi akibat Peraturan Menteri KKP No. 33/2021 yang memperbolehkan pemilik kapal untuk memilih menggaji AKP secara bulanan atau bagi hasil. Demi memperkecil modal, seringkali pemilik kapal memilih skema bagi hasil yang sangat bergantung pada hasil tangkapan tiap kali berlayar.
“Permasalahan terbesar kedua yang diterima oleh NFC asuransi dan jaminan sosial sebanyak 19,8 persen dari total kasus. Di saat kerja-kerja di atas penuh dengan risiko, pemilik kapal melalaikan kewajiban untuk membekali AKP dengan asuransi sebagaimana yang tertuang pada Permen KP 33 tahun 2021. Kondisi diperparah dengan kapal yang tidak dilengkapi oleh pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan AKP yang tidak diberikan pelatihan keselamatan,” ungkap dia.
Akibatnya, ketika AKP mengalami kecelakaan kerja hingga menyebabkan kelumpuhan, mereka harus membayar pengobatan mereka sendiri. Padahal, kecelakaan terjadi karena kelalaian kapten dan pemilik kapal.
Masih kata Miftachul, kasus ketiga yang sering terjadi adalah manipulasi yang dilakukan oleh penipuan (9,6 persen). Akibat absennya pemerintah dalam perekrutan dan penempatan AKP, calo mengisi kekosongan tersebut dan mengambil untung dari AKP.
“Melalui iklan-iklan di Facebook, calo menjanjikan gaji besar, hutang, dan fasilitas sebelum keberangkatan. Calo juga menjanjikan akan membuat Perjanjian Kerja Laut (PKL) dan memberikan pelatihan Basic Safety Training (BST). Namun, calon AKP justru harus membayar pengurusan dua dokumen tersebut,” bebernya lagi.
“Selain ketiga kasus di atas, AKP juga mengalami kekerasan fisik dan seksual (4,1 persen), permasalahan kontrak kerja (2,5 persen) dan penyalahgunaan kerentanan (2,5 persen)," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: