Hal tersebut sebagai bentuk ganti rugi Pertamina kepada nelayan yang tidak bisa melaut karena laut yang biasa dijadikan mereka untuk mencari nafkah tercemar.
Kendati demikian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai langkah yang diambil Pertamina ini dinilai kurang persiapan.
"Pelibatan warga dan nelayan dalam penanganan tumpahan minyak tanpa alat keselamatan kerja yang layak dan atau sesuai SOP, harus dievaluasi kembali," ujar Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat Meiki W Paendong, saat berbicara di Kantor WALHI pusat di bilangan Mampang, Jaksel, Senin (29/7).
Pasalnya dalam proses pembersihan limbah minyak tersebut pegawai Pertamina dilengkapi perlengkapan dan baju safety. Berbeda dengan nelayan yang menggunakan alat seadanya.
"Ini harus difokuskan, jangan nanti jadi masalah baru, " tegasnya.
Meiki memberi gambaran nelayan yang dilibatkan Pertamina itu dibagi perkelompok. "1 kelompok nelayan terdiri dari 4 perahu. 1 perahu tersebut diisi oleh 3-5 orang nelayan yang mampu membawa 60 karung, " paparnya.
Lebih detail Meiki bercerita 1 karung berisi 25 kg oil spill. Maka kalau di jumlah total oil spill yang terangkut oleh kelompok tersebut sebesar 25 kg x 60 karung x 4 perahu = 6000 kg / 240 karung.
"Itu dalam 1 hari hanya 1 kali ritasi," ucapnya.
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah penanganan limbah minyak pasca diangkut akan diapakan. "Katanya mau dibawa kecimalaya setelah itu masih tanda tanya," tambahnya.
WALHI menegaskan jangan sampai minyak yang diangkut menambah masalah lingkungan dan sosial baru.
Untuk diketahui sebelumnya telah terjadi kebocoran minyak mentah dari anjungan lepas pantai YYA 1 di perairan Karawang pada 12 Juli lalu yang mengakibatkan banyak kerugian diantaranya mengancam perairan laut disekitarnya termasuk Jakarta dan menghilangkan mata pencaharian masyarakat.
BERITA TERKAIT: