Hal tersebut disampaikan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov dalam Diskusi Online Indef mengenai 'Problem Defisit Migas dan PR ke Depan', Minggu (28/7).
“Kinerja investasi Migas di Indonesia masih belum memuaskan karena hingga Semester I – 2019, realisasi investasi migas baru mencapai 5,21 miliar dolar AS atau 35 persen target 2019 14,79 miliar dolar AS,†kata Abra.
“Padahal investasi migas merupakan syarat mutlak untuk meningkatkan produksi migas nasional, memperkuat ketahanan energi nasional dan sekaligus menambah sumber penerimaan negara,†sambungnya.
Kondisi tersebut, kata Abra, merupakan keanehan di tengah suburnya terobosan kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintah. Salah satunya seperti skema
gross split yang digadang-gadang dapat meningkatkan keuntungan yang lebih besar bagi investor.
Melalui skema
gross split, pemerintah menjanjikan simplifikasi proses bisnis, prosedur, dan administrasi dalam melaksanakan kegiatan operasi perminyakan yang diharapkan mampu mendorong investor untuk lebih giat berinvestasi.
"Namun buktinya, hanya ada 14 blok yang berhasil dilelang dengan skema
gross split dalam dua tahun terakhir,†paparnya.
Di tengah kenaikan harga minyak dunia yang saat ini menyentuh level 63 dolar AS per barel atau meningkat 18 persen sejak awal 2019, seharusnya bisa menjadi peluang dan stimulus Indonesia untuk menarik investasi hulu migas lebih masif lagi.
Selain itu, kecenderungan tegangnya hubungan AS-Eropa dengan Iran maupun instabilitas politik di Timur Tengah juga sebetulnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk menggaet para investor migas. Pasalnya, suhu geopolitik di kawasan Asean relatif terjaga.
“Namun lagi-lagi, hambatan domestik lah yang justru menjadi momok bagi investor migas,†jelasnya menyayangkan.
Baginya hal penting dan patut menjadi perhatian investor bukan sekadar insentif yang dijanjikan pemerintah, melainkan juga soal stabilitas hukum dan politik,
“Nature dari investasi migas yang sangat capital intensive dan berorientasi pada investasi jangka panjang, maka wajar jika isu utama yang mesti diantisipasi oleh investor adalah potensi gejolak politik yang berujung pada perombakan kebijakan baik secara minor apalagi yang bersifat mayor,†tegasnya.
“Setiap perubahan kebijakan mesti dilakukan dengan
smooth, melalui dasar kajian yang kredibel dan proses dialog yang terbuka dan setara dengan stakeholder,†tandasnya.
BERITA TERKAIT: