Pertama, mengingat proses akuisisi saham perusahaan tambang terbesar di dunia itu dilakukan menjelang Pemilihan Presiden 2019.
"Seharusnya soal Freeport ini jangan jadi konsumsi politik. Terkesan ini ada
hidden agenda untuk politik Pilpres," tegas Presidium Persatuan Pergerakan, Andrianto berbincang dengan
Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (25/12).
Justru menurut dia, langkah pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) mengakusisi saham Freeport sebagai kekeliruan berat. Apalagi, masih ada dua tahun sebelum kontrak karya PTFI habis.
"
Nah Freeport
kan selesai 2021. Seharusnya baru dibahas dan diputuskan tahun 2019 di rezim baru. Siapapun yang unggul saat itu. Kalau sekarang kita rugi donk. Problem utamanya
kan duit utang yang dari bond in itu berisiko. Seharusnya kita
confident (percaya diri) aja," sesalnya.
Meski sudah selesai pembayarannya, divestasi mayoritas saham PFTI belum sepenuhnya rampung. Andrianto pun meminta tetap adanya pengawasan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Jadi BPK dan KPK wajib awasi ini proses divestasi ini. Ada bau anyir yang nggak beres," tukas aktivis mahasiswa tahun 1998 ini.
[wid]
BERITA TERKAIT: