Minggu (16/12) lalu, perjanjian dimaksud telah ditandatangani di Jakarta.
"Jika perjanjian ini mulai diberlakukan, maka lebih dari 80 persen ekspor Norwegia ke Indonesia akan bebas bea masuk. Dan itu sangat merugikan nelayan Indonesia,†tutur Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata dalam keterangan persnya, Senin (24/12).
Dia mengatakan, perjanjian tersebut didorong melalui forum European Free Trade Association (EFTA), di mana Norwegia menjadi salah satu negara anggotanya.
"Negosiasi perjanjian ini telah berlangsung hampir delapan tahun di antara kedua negara tersebut secara tertutup, tanpa partisipasi dari masyarakat sipil terlebih organisasi nelayan Indonesia," terangnya.
Marthin memaparkan, pada 2017, Indonesia mengekspor produk senilai 1,3 miliar dolar AS ke negara-negara EFTA. Sementara Indonesia mengimpor 1,1 miliar dolar AS dari blok tersebut.
Perjanjian EFTA-Indonesia ini secara intensif dibahas bersamaan dengan keputusan parlemen Norwegia yang melarang penggunaan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit dalam upaya untuk melindungi iklim dan hutan hujan.
Secara tidak langsung, lanjut Marthin, keputusan ini berdampak pada intensitas ekspor minyak sawit yang berasal dari Indonesia dengan ancaman menghentikan masuknya ekspor ikan dari Norwegia.
Saat ini, sekitar 60 persen dari total impor salmon ke Indonesia berasal dari Norwegia. Ekspor makanan perikanan laut Norwegia ke Indonesia pada tahun 2017 mencapai 250 juta dolar AS atau setara dengan 219 juta Euro.
Perjanjian EFTA-Indonesia secara khusus menjadi sarana untuk menjaga kelangsungan perdangan bebas di sektor perikanan.
Menurut Marthin, perjanjian perdagangan bebas ini hanya menguntungkan Norwegia untuk mengamankan kepentingan posisi ekonomi dalam perdagangan internasional.
"Perjanjian perdagangan ini hanya akan meningkatkan dam membuka pasar ekspor untuk perusahaan Norwegia. Sementara perjanjian itu akan menjadikan hal sebaliknya bagi situasi perikanan Indonesia," tuturnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: