Kebijakan Pemerintah Masih Kurang Nendang

Neraca Perdagangan Kembali Defisit

Rabu, 19 September 2018, 09:52 WIB
Kebijakan Pemerintah Masih Kurang Nendang
Foto/Net
rmol news logo Neraca perdagangan pada Agustus kembali loyo. Padahal, pemerintah sudah mengerek pajak impor, dan penerapan biodiesel 20 persen (B20). Kebijakan pemerintah masih kurang nendang?

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, nilai impor yang masih relatif tinggi belum mampu diimbangi dengan peningkatan kinerja ekspor. Sehingga secara bulanan membuat neraca perdagangan pada Agustus kembali defisit 1,02 miliar dolar AS.

BPS mencatat, ekspor pada Agustus turun sebesar 2,90 persen menjadi 15,82 miliar dolar AS. Padahal, pada Juli 2018, nilai ekspornya 16,29 miliar dolar AS.

Penurunan ini disebabkan oleh merosotnya ekspor nonmigas 2,86 persen, yaitu dari 14,85 miliar dolar AS menjadi 14,43 miliar dolar AS. Ekspor migas juga turun 3,27 persen dari 1,43 miliar dolar AS menjadi 1,38 miliar dolar AS.

Secara tahunan, kata dia, ekspor Agustus memang men­catat kenaikan 4,15 persen dari 15,19 miliar dolar AS menjadi 15,82 miliar dolar AS. Namun, impor periode tersebut juga mengalami kenaikan dengan persentase lebih tinggi yakni sebesar 24,65 persen 16,84 miliar dolar AS dari 13,51 miliar dolar AS.

"Ekspor kita masih ba­gus, tetapi yang jadi masalah impornya tumbuh lebih tinggi," katanya saat memaparkan ki­nerja ekspor impor di gedung BPS, Jakarta, kemarin.

Menurutnya, kenaikan impor Agustus disumbang oleh impor migas sebesar 14,5 persen men­jadi 3,05 miliar dolar AS dari periode Juli sebesar 2,66 miliar dolar AS. Sedangkan impor non migas, walaupun nilainya tinggi, namun secara persentase pertumbuhan turun 11,79 persen menjadi 13,79 miliar dolar AS dari realisasi impor Juli 15,64 miliar dolar AS.

Mendapat laporan neraca per­dagangan masih loyo, Presiden Jokowi tidak tinggal diam. Dia langsung memanggil Menko Perekonomian Darmin Nasu­tion dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, serta Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso ke Istana Negara.

Darmin mengatakan, per­temuan ini untuk membahas perekonomian dan defisit neraca perdagangan. "Kita memang membahas neraca perdagangan. Kita mereview-nya, apa yang jalan, apa yang tidak jalan," katanya.

Pemerintah, kata dia, juga sudah mulai menyusun strategi apa saja yang akan dilakukan untuk terus menekan defisit ne­raca perdagangan. Saat ini yang sudah dilakukan pemerintah ada­lah menaikkan pajak impor dan menggenjot penggunaan B20 untuk menekan impor BBM.

"Artinya, kalau dilihat ne­raca perdagangan, itu jumlah sih menurun, ya kan? Bulan lalu ne­raca perdagangan kita defisitnya 2,02 miliar dolar AS, akhir bulan Agustus, defisitnya 1,02 miliar dolar AS," jelas dia.

Harga Minyak Naik


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, sebenarnya kenaikan volume impor minyak tak banyak. Defisit tersebut, lebih disebabkan oleh kenaikan harga minyak yang saat ini sudah mencapai kisaran 70 dolar AS per barel. Padahal, pada Agustus 2017 harga minyak berada di kisaran 48 dolar AS per barel.

"Neraca minus itu bukan ke­naikan konsumsi. Tapi lebih kepada harga," kata Jonan di gedung Kementerian ESDM, Jakarta, kemarin.

Dengan kenaikan harga itu, kata dia, neraca perdagangan migas sudah pasti defisit ter­jadi karena kebutuhan minyak di dalam negeri mencapai 1,4 juta barel per hari. Sedangkan produksi minyak nasional hanya sekitar 800 ribu barel per hari.

Meski demikian, kata Jonan, sektor migas menyumbang sur­plus di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari migas tahun ini bisa mencapai Rp 200 triliun. Ditambah minerba totalnya Rp 240 triliun. Jumlah ini lebih besar dibanding total anggaran untuk subsidi energi.

"Subsidi energi Rp 149 triliun. Target PNBP migas dan minerba di APBN itu Rp 156 triliun. Outlook-nya Rp 240 triliun. Jadi masih ada surplus," tukasnya.

Sebelumnya, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman memprediksi jika kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerin­tah seperti pajak impor barang konsumsi tidak akan mampu mengatasi defisit perdagangan. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada Januari-Juni 2018, nilai rata-rata impor barang konsumsi hanya 9,2 persen dari seluruh nilai to­tal impor. Sementara itu, impor barang raw material dan barang modal 74,6 persen dan 16,1 persen. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA