Pemerintah Harus Evaluasi Tata Niaga Gula Nasional

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 31 Agustus 2018, 21:30 WIB
Pemerintah Harus Evaluasi Tata Niaga Gula Nasional
Ilustrasi/Net
rmol news logo Pemerintah perlu mengevaluasi tata niaga gula secara nasional. Beberapa peraturan yang ditetapkan terkait pasokan gula nasional tidak mampu meningkatkan produktivitas gula nasional.

Peneliti bidang pangan Hizkia Respatiadi mengatakan, salah satu upaya pemerintah menjaga stabilitas harga dan ketersediaan gula konsumsi salah satunya adalah melalui impor. Pemerintah membuka keran impor untuk memenuhi shortage penawaran gula konsumsi dalam negeri seperti yang dijelaskan Permendag 117/2015.

"Pemerintah justru menerapkan hambatan dalam beberapa hal untuk impor, seperti jumlah impor dan waktu impor yang diatur melalui rapat koordinasi antar kementerian. Padahal pemerintah tidak mampu menentukan jumlah dan waktu yang tepat untuk melakukan impor gula konsumsi. Hal ini terbukti dari jumlah impor yang tidak mampu meredam gejolak harga dan waktu pelaksanaan impor yang kurang maksimal yaitu ketika harga internasional tidak berada pada titik terendah," paparnya kepada wartawan, Jumat (31/8).

Untuk itu, pemerintah diminta melakukan evaluasi Permendag 117/2015. Pada pasal 3 dijelaskan bahwa jumlah gula yang diimpor harus sesuai kebutuhan gula dalam negeri yang ditentukan dan disepakati antar kementerian. Peraturan perlu dievaluasi karena terbukti mekanisme pembatasan kuota impor tidak mempu meredam gejolak harga di pasar gula konsumsi dalam negeri.

Karenanya, sudah seharusnya pemerintah memberikan hak penentuan jumlah impor kepada pasar melalui importir yang memiliki lisensi impor dan memenuhi syarat. Pemerintah cukup melakukan pengawasan terhadap mekanisme impor agar berlangsung tertib dan efektif.

"Selama ini lisensi impor hanya diberikan kepada sejumlah BUMN sehingga tidak menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. BUMN ini pun sering mengalami kesulitan untuk mengimpor karena lisensi yang diterimanya berdekatan dengan masa giling tebu domestik, sehingga tidak ideal timing-nya untuk melakukan impor," urai Hizkia.

Selain Permendag 117/2015, kebijakan terkait pasokan lainnya adalah Permentan 53/2015 dan Permenperin 50/2012. Permentan 53/2015 mengatur mengenai peningkatan produktivitas tebu. Data United States Department of Agriculture (USDA), produktivitas tebu Indonesia sebelum diberlakukannya Permentan adalah 74,3 ton per hektare pada 2008-2014. Setelah diberlakukannya permentan, produktivitasnya justru menurun jadi 67,55 ton per hektare pada 2015-2018.

Permenperin 50/2012 mengatur mengenai revitalisasi pabrik dengan tujuan meningkatkan nilai rendemen gula tebu Indonesia. USDA mencatat, nilai rata-rata rendemen gula tebu nasional periode 2008-2018 hanya 7,47 persen, berbeda jauh dibandingkan dengan Filipina yang mencapai 9,52 persen dan Thailand 10,28 persen pada periode yang sama.

"Hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah terkait supply gula tidak efektif. Berdasarkan ata OECD FAO, konsumsi per kapita gula rata-rata nasional terus meningkat di mana pada 2009 hanya 21,26 kilogram per orang per tahun. Sedangkan pada 2016 nilai ini meningkat menjadi 25,35 per kilogram per orang per tahun. Ini juga membuktikan produksi gula nasional masih belum bisa memenuhi kebutuhan gula domestik," jelas Hizkia yang juga kepala penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). [wah]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA