"APBN kita habis dipakai untuk membayar bunga utang. Di outlook APBN 2018, pos pembayaran bunga utang sebesar Rp 249 triliun dan akan bertambah menjadi Rp 275 triliun dalam RAPBN 2019. Ini sudah tidak sehat," jelas anggota Komisi XI Ecky Awal Mucharam kepada wartwan, Sabtu (25/8).
Dia menjelaskan, jumlah bunga utang tersebut fantastis karena sudah menjadi pos belanja terbesar setelah belanja rutin. Lebih besar dari belanja modal, belanja sosial, dan belanja subsidi. Sementara proporsi pembayaran bunga terhadap total belanja negara makin meningkat. Di akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, proporsi bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat hanya 11,1 persen, sekarang sudah 17,2 persen.
"Beban bunga ini mengalami lonjakan karena pemerintahan Jokowi sangat jor-joran berutang. Pemerintah harus menjelaskan kondisi utang secara utuh ke publik. Misalkan memang ada Rp 396 triliun utang yang dilunasi di tahun ini tapi perlu diingat net pembiayaan di outlook APBN 2018 dalam bentuk penerbitan SBN adalah sebesar Rp 388 triliun. Artinya, jumlah utang baru yang ditarik sekitar Rp 784 triliun," papar Ecky.
Di tahun 2017, pemerintah melunasi utang SBN sebesar Rp 284 triliun tetapi menarik utang SBN baru sebesar Rp 726 triliun. Sementara di 2016 pemerintah melunasi Rp 254 triliun tetapi menambah sebesar Rp 660 triliun. Karena itu, selama pemerintahan Jokowi dari 2015-2018, stok utang pemerintah dalam bentuk SBN bertambah Rp 1600 triliun.
"Artinya kita sudah nyaris masuk dalam jebakan utang karena kita berutang sekadar untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang sebelumnya. Ujung-ujungnya yang menikmati adalah para investor khususnya asing yang menerima pembayaran bunga utang tiap tahunnya. Sebagai catatan, surat utang negara kita yang hampir separuhnya dikuasai asing. Ini juga berbahaya untuk stabilitas ekonomi dan nilai tukar rupiah," jelas Ecky.
"Jadi, jangan selalu membandingkan debt to GDP ratio dengan negara lain untuk menjustifikasi utang kita, karena kenyataannya biaya utang kita yang mahal telah menggerus APBN. Negara lain yang debt to GDP ratio besar itu bunganya lebih murah dari kita. Dan lebih memprihatinkan lagi, di era pemerintahan Jokowi debt to GDP ratio kita terus naik dari 24 persen menjadi 29 persen," imbuh politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.
[wah]
BERITA TERKAIT: