"Pemerintahan Presiden Jokowi telah melakukan langkah-langkah yang konkret dan terus-menerus untuk mengatasi masalah ini termasuk melakukan langkah koordinasi dengan Bank Indonesia selaku otoritas yang bertanggung jawab soal stabilitas nilai tukar dan OJK selaku pengawas industri jasa keuangan," ujar Misbakhun, Minggu (15/7).
Kurs dolar AS saat Presiden Jokowi dilantik pada 20 Oktober 2014 adalah sekitar Rp 12.030. Dolar Paman Sam pernah berada di kisaran Rp 14.800 pada 24 September 2015. Namun, kini di kisaran Rp 14.400.
Politikus Golkar yang dikenal gigih membela kebijakan Presiden Jokowi itu lantas membandingkan depresiasi rupiah dengan mata uang negara-negara lain. Misalnya, peso Argentina.
Tiga tahun lalu, dolar AS setara dengan 9,1 peso. Tapi dua tahun silam, peso terdepresiasi. Nilai dolar AS menjadi 14,8 peso.
Setahun kemudian peso kembali terdepresiasi. Nilai dolar AS meningkat menjadi setara 16,8 peso. Sedangkan enam bulan lalu, dolar menguat menjadi setara 18,6. Bahkan sebulan silam peso makin terdepresiasi. Dolar pun menjulang menjadi 25,6 peso. Sedangkan saat ini satu dolar setara 27,1 peso.
"Size ekonomi Indonesia dengan Argentina memang berbeda. Tapi depresiasi Peso ini sudah mencapai 300 persen dalam tiga tahun," ujarnya.
Demikian pula dengan rupee India. Sekitar sepuluh tahun lalu dolar AS masih setara dengan 42,1. Kemudian lima tahun lalu dolar AS menjadi setara 59,3. Setahun lalu, dolar sudah menjadi 64,3 rupee. Tapi sebulan silam kurs Rupe terhadap dolar kian anjlok. Dolar AS menjadi setara 67,1. Berdasar catatan terkini, satu dolar sudah menjadi setara 68,5.
Misbakhun juga menyinggung soal depresiasi lira Turki. Tiga tahun lalu dolar AS setara 2,63. Tapi dua tahun lalu, dolar AS terkerek menjadi 2,88. Setahun lalu kurs dolar AS meningkat menjadi 5,3 lira. Sedangkan enam bulan lalu, dolar menjadi 4,65, dan kini menjadi 4,84 lira.
"Mata uang lira Turki dalam jangka waktu tiga tahun mengalami depresiasi. Size ekonomi Turki hampir mendekati Indonesia sebagai emerging market country walaupun secara spesifik mempunyai banyak juga perbedaan dalam hal sumber daya alam, sistem ekonomi, struktur pasar dan beberapa para meter," tutur Misbakhun.
Mantan pegawai pajak Kementerian Keuangan itu menambahkan, depresiasi yang dialami peso, rupee maupun lira menjadi bukti bahwa ada permasalahan di banyak negara emerging market. Misbakhun meyakini menguatnya USD bukan persoalan Indonesia saja.
"Ini persoalan global. Tinggal adalah bagaimana persoalan tersebut di atasi dan diantisipasi dampak-dampak negatifnya terhadap perekonomian nasional," katanya.
[dem]
BERITA TERKAIT: