Perry mengisahkan, sekitar 2003 hingga 2005, BI selalu mengedepankan kebijakan monÂeter. Namun kemudian pada 2010, Perry menciptakan lima bauran kebijakan. Lima jamu tersebut adalah kebijakan monÂeter, makroprudensial, akselerasi pendalaman pasar keuangan, sysÂtem pembayaran, dan ekonomi keuangan syariah. "Jamu-jamu inilah yang bisa menciptakan kontribusi nyata untuk pertumbuÂhan ekonomi nasional lima tahun ke depan," tuturnya.
Lima bauran kebijakan terseÂbut juga diyakininya lebih cocok untuk menghadapi situasi sekaÂrang, di mana kondisi ekonomi lebih banyak dipengaruhi faktor eksternal. Karena itu langkah BI sering berbeda dengan Bank Sentral negara lain, yang hanya fokus pada kebijakan stabilitas.
"Central Bank negara lain mereka cuma mengurus soal staÂbilitas nilai tukar mata uangnya dan suku bunga acuan. Tetapi BI tidak bisa begitu. Kita harus sinÂergi dengan pemerintah dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Ia mengakui, dari lima bauran kebijakan yang diterapkannya, tak semua rasanya manis. Ada satu jamu pahit yang mau tidak mau harus 'ditelan' jika memang dibutuhkan. Jamu tersebut adalah kebijakan moneter, yang meÂmang pro stabilitas tetapi selalu membuat pertumbuhan minus. Dengan begitu, ekonomi naÂsional dijamin selalu bugar.
Seperti diketahui, pada Mei keÂmarin BI menggelar dua kali rapat dewan gubernur (RDG). Hasilnya, rapat memutuskan kenaikan suku bunga acuan BI 7
Day Reverse Repo Rate (repo rate) masing-masing 25 bps. Sehingga repo rate kini menjadi 4,75 persen.
"Tapi sejak 24 Mei (kenaikan repo rate kedua), kami selalu meng-combine agar jamu paÂhit tadi tadi tidak merembet pada hal-hal lain. Alhamdulillah tingkat inflasi Mei rendah, yaitu 3,23 persen. Cadangan devisa juga terjaga, yaitu sebesar 124,9 miliar dolar. Nilai ini 22 persen lebih tinggi daripada yang dibuÂtuhkan," beber Perry.
Pada Mei pula pihaknya menÂcatat ada Rp 13 triliun dana masuk ke Indonesia (
inflow), khususnya ke surat berharga negara. Jumlah itu diharapkan akan terus meningkat.
Dengan ada kenaikan repo rate dan aliran dana masuk, sejauh ini mampu menambah kepercayaan ke pasar dan mendorong penguaÂtan nilai tukar rupiah.
"Instrumen moneter menjadi prioritas BI untuk upaya menÂjaga stabilitas di tengah gejolak perekonomian global dewasa ini," ujarnya.
Terpisah, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A Chaves memuji Perry. Menurutnya, kerangka kebijakan ekonomi makro yang diambil BI ibarat penyangga terhadap penÂingkatan volatilitas global.
"Kebijakan moneter telah berÂjalan dengan baik, menjaga suku bunga riil di wilayah positif dan mempertahankan ekspektasi inÂflasi. Belum lama ini, meskipun inflasi stabil, BI menaikkan suku bunga sebanyak dua kali, sebeÂsar 25 bps setiap kalinya, untuk memberi sinyal bagi komitmenÂnya terhadap stabilitas," ucapÂnya di acara diskusi ekonomi di Jakarta, Selasa sore (5/6).
Chaves menuturkan, cadanÂgan devisa yang mencapai tingÂkat tertinggi (
record level), dan perjanjian pertukaran bilateral memungkinkan BI mempertahÂankan nilai rupiah.
"Selain itu, nilai rupiah secara efektif tetap 5,3 persen lebih kuat dari pada nilai di Januari 2014 waktu itu, menyusul akibat yang berkepanjangan dari apreÂsiasi ril yang terjadi pasca Taper Tantrum," jelas dia.
Chaves bilang, langkah-langÂkah makroprudensial, terutama yang terkait dengan lindung nilai (hedging) terhadap ekÂsposur mata uang asing oleh korporasi, telah berkontribusi terhadap ketahanan.
Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian PangÂgabean berpendapat, sejalan dengan kenaikan repo rate, maka valuasi teoretis yield obligasi 10 tahun Indonesia pada Juni beÂrada di antara 7,20-7,50 persen.
"Itu artinya bunga yield tinggi diharapkan bisa mendorong obligasi dan berimbas pada masuknya dana asing," tuturnya kepada
Rakyat Merdeka. Saat ini pasar surat utang InÂdonesia yang masuk kalkulasi Barclays Bloomberg Global Bond Index memiliki potensi bobot sebeÂsar 0,3 persen. Jika bobot tersebut efektif per 1 Juni 2018, Adrian memproyeksikan investor akan kembali masuk ke pasar modal.
Dengan pertimbangan tersebut dan di bawah asumsi obligasi globÂal Indonesia tenor 5 tahun tetap beÂrada di kisaran 110-125 bps, maka ia memperkirakan rupiah bergerak pada kisaran Rp 13.800-14 ribu selama Juni. ***
BERITA TERKAIT: