Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy mengatakan, meningkatnya daya saing industri tekstil lokal ada di tangan pemerintah. "KebiÂjakan yang tepat dari pemerintah jadi kunci naiknya daya saing industri kita," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Kebijakan yang diluncurkan pemerintah selama ini belum bisa meningkatkan daya saing industri tekstil. "Insentif meÂmang ada. Tapi cek sekarang harga listrik, gas masih mahal tidak. Kalau masih mahal jangan harap daya saing kita maju," ungkapnya.
Menurutnya, industri tekstil lokal kesulitan mengerek daya saing karena kebutuhan energi memangkas biaya produksi cuÂkup besar. "
Cost produksi kita bisa habis untuk beli energi saja. Jadi kalau mau memberikan insentif di energi lebih tepat," katanya.
Ia menjelaskan, energi seperti listrik dan gas digunakan oleh industri tekstil untuk pemanas. Selama ini untuk pemenuhan kebutuhan gas, industri membeli langsung ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau ke pedaÂgang perantara.
"Dalam data terakhir yang kami punya harga gas rata-rata untuk industri tekstil 4,7 dolar AS. Di Filipina 5,43 dolar AS, sedangkan di Indonesia 9,3 dolar AS," tuturnya.
Ia mengatakan, untuk memÂbuat produk tekstil Indonesia bersaing maka harga energi dibutuhkan minimal sama denÂgan negara kawasan. "Kalau kebijakan premium bisa maka seharusnya gas sebagai energi yang digunakan oleh beragam industri juga bisa," katanya.
Ernovian menambahkan, harga gas sudah menjadi perÂsoalan menahun. Pemerintah juga dianggap telah memetakan masalah dan solusi. Namun, disayangkan harganya belum bisa turun.
"Kalau tidak bisa untuk inÂdustri dimurahkan, serahkan semua gas yang ada untuk PLN sehingga akhirnya didapat harga energi yang murah," katanya.
Menurutnya, penggunaan gas sebagai energi juga akan menÂingkatkan nilai tawar produk Indonesia karena ramah lingÂkungan.
Ketua Umum API Ade SudraÂjat mengatakan, dorongan dari pemerintah sangat dibutuhkan industri tekstil dalam negeri. Apalagi, tahun ini pelaku usaha tekstil lokal akan mendapatkan tantangan yang cukup berat untuk meningkatkan daya saing dengan negara lain.
"Seperti yang kita tahu, untuk tekstil kita bersaing ketat dengan Vietnam. Mereka sudah bisa masuk ke Eropa nol persen. Pasar kita bisa diambil alih," ujar Ade.
Salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah meningkatkan produktivitas dan investasi-investasi baru di industri pertekstilan. Setelah itu, pemerintah segera berunding dengan pasar-pasar baru.
"Minimal pada 2020 kita harus berani menembus semua pasar di ASEAN. Anak muda Indonesia saat ini juga sudah mulai kreatif mengembangkan desain," tambah Ade.
Genjot SDMSebelumnya, Menteri PerinÂdustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah terus meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) industri tekstil agar mampu menÂguasai perkembangan teknologi digital. Hal ini juga diklaim bakal bisa menggenjot daya saing industri tekstil.
"Khusus untuk memasok tenÂaga kerja di industri tekstil, kami memiliki Akademi Komunitas Tekstil Solo dan penyelengÂgaraan Diklat 3in1 (pelatihan, sertifikasi kompetensi, dan penÂempatan kerja) untuk operator mesin garmen," ujarnya.
Selain itu, Kementerian PerÂindustrian (Kemenperin) juga gencar melaksanakan program pendidikan vokasi. "Pemerintah juga tengah membahas terkait perdagangan internasional, agar tarif bea masuk tekstil atau garÂmen kita bisa di nol kan oleh negara lain," tegasnya.
Ia mencontohkan kerja sama dengan Australia melalui
ComÂprehensive Economic PartnerÂship (CEPA) yang diharapkan bisa selesai tahun ini. "Kami yakin, kalau semua tarif sudah menjadi nol, ekspor tekstil atau garmen kita akan meningkat," papar Airlangga. ***
BERITA TERKAIT: